Kami masuk gua Petta Kere, yang "ditemukan" saintis Belanda van Heekeren dan Heeren Palm tahun 1950. Objek pertama yang ditunjukkan Pak Daeng adalah lukisan cap telapak tangan dan sosok hewan babi rusa tertusuk anak panah di dinding gua bagian luar. Warnanya kemerahan dan sudah agak memudar.
Cap telapak tangan itu diduga sebagai bagian dari ritual kematian, penanda arwah yang meraba-raba eksistensinya di alam barzah. Tapi ada juga yang bilang itu cap tangan orang yang habis potong jari tanda duka. Cap telapak itu kata Pak Daeng dibuat dengan teknik sembur, menggunakan pewarna alami.
Teknik itu mengingatkan saya pada sebuah inovasi cemerlang dulu semasa SMP. Untuk menerakan cap tangan di kaos, adik kelas disuruh meletakkan telapak tangannya di kaos, lalu disemprot dengan semprotan nyamuk berisi cat. Hasilnya ... ya, seperti lukisan gua itulah.
Lalu, gambar hewan mestinya terkait dengan kehidupan manusia prasejarah penghuni gua itu sebagai pemburu. Kata Pak Daeng, di bagian gua lain yang kini sudah tertutup, ada juga fossil sampah dapur, seperti kerang-kerangan. Pertanda selain berburu, manusia gua prasejarah itu juga mencari nafkah di laut.
Melewati lorong, kami dipandu Pak Daeng masuk lebih dalam. Di dalam gua ada dua ruangan, diperkirakan sebagai tempat tinggal manusia prasejarah sekitar tahun 5000-3000 SM. Pak Daeng tak menjelaskan perbedaan fungsi dua ruang gua itu. Apakah yang satu gua perempuan dan yang lainnya gua lelaki, misalnya?
"Apakah mungkin ada di antara warga Sulsel sini keturunan manusia gua Leang Leang, Pak Daeng?" Itu pertanyaan tercerdas yang saya lontarkan hari itu. Terbukti Pak Daeng terperangah, diam bingung, tak bisa menjawabnya. Sambil balik badan keluar gua, saya tersenyum puas.
Turun dari gua ke dasar tebing, saya takjub menyaksikan pintu gua Leang Leang itu sekitar 50 meter di atas sana. Bagaimana cara manusia prasejarah itu dulu keluar masuk gua? Atau mungkinkah dulu mulut gua itu merupakan bibir pantai, sehingga mudah dijangkau.
Tak lupa menyalamkan sekadar uang keringat ke tangan Pak Daeng, kami menyusur lagi jalan beton setapak menuju taman karst. Walah, di ceruk gua teduh di dasar tebing tadi, sepasang manusia posthistoris itu masih eksis dengan posisi yang sama. "Gua ini milik kita berdua," begitu mungkin kata mereka. Hadeuh..., mbok ya cepetan sana ke penghulu, napah...!
Sudahlah, tinggalkan saja manusia posthistoris itu dalam gua. Di taman karst, seperti pengunjung lainnya, wajib sesi selfie dan wefie. "Naik, Pak, ke atas batu. Aku fotoin," perintah anak bungsu kami. Terpaksalah lelaki tua ini merangkak ke atar gundukan karst. Lalu ... cekrek ...!
"Nah, keren, heroik ...lihat, Pak," komentar anak kami sambil menunjukkan foto seorang lelaki tua merangkak di gundukan karst di layar henponnya. Keren apaan, heroik apaan, bathinku ngenas. Di foto itu saya terlihat seperti seekor kepiting darat merayap di atas batu. Ampun, dah...!
"Ayo, jalan, sudah sore. Kita masih harus ke Bantimurung." Saya mengajak isteri dan kedua anak kami ke Bantimurung, meninggalkan gua prasejarah dan sepasang manusia posthistoris tadi.***