Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Anies Baswedan Melukis Jakarta

13 Maret 2018   08:17 Diperbarui: 13 Maret 2018   11:15 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Okelah, setuju dengan Pak Anies. Dengan catatan,  bagi mayoritas golongan bawah Jakarta, menikmati karya seni itu sejatinya adalah urusan nomor buncit. 

Yang mendesak bagi  mayoritas golongan bawah itu, khususnya bagi lapis miskin, adalah pemenuhan kebutuhan primer. Asalkan makan, pakaian,  rumah, sekolah anak, dan kesehatan terjamin, pastilah sudah bahagia. Apalagi kalau rumah tidak kebanjiran dan jalanan tidak macet. Ditambah sesekali rekreasi berlarian dan tiduran di lapangan  rumput Monas. Bahagia lengkap, sudah.

"Melukis Jakarta" bagi Pak Anies, selaku gubernur, adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan serasi. "Lukisan Jakarta" yang sejahtera  adalah Jakarta yang bebas dari banjir, kemacetan, pengemis, pengasong, pemulung, penjaja seks, pengangguran, tukang becak, pemukim kumuh, PKL pengokupasi trotoar, dan lain-lain yang sejenis.

"Lukisan Jakarta" yang serasi, dalam arti sosiologis dan ekologis, adalah Jakarta yang bebas tawuran, persekusi, demo anarkis, kekerasan, korupsi, kemacetan, kebanjiran, dan lain-lain yang sejenis. Pokoknya Jakarta yang berkeadilan sosial dan berkeadilan ekologis sekaligus.

Jika "Lukisan Jakarta" yang sejahtera dan serasi itu belum bisa dihasilkan Pak Anies, maka lukisan cantik di pilar-pilar jalan layang, juga semarak warna-warni kampung, tak lebihlah dari  sekadar gincu atau pupur pada seraut "wajah kota". Gincu atau pupur yang menyembunyikan kemiskinan dan kekacauan sebuah kota.

Hari Minggu (11/3/18) sore, dan kemarin sore (Senin, 13/3/18)  saya sempat melintas di sepotong Jalan Antasari Jakarta. Pada hari Minggu saya menyaksikan ratusan anak-anak SMA/SMK  antusias menyapukan  kuas-kuas mereka melukis pilar-pilar JLNT Antasari. Kemarin sore saya  menikmati sebagian hasilnya.

Tanpa mengurangi penghargaan pada jerih-payah anak-anak muda itu, saya tidak melihat "Jakarta Yang Sejujurnya" pada pilar-pilar JLNT itu. Saya hanya melihat simbol-simbol Jakarta yang standar dan terkesan  monoton. Ada tugu Monas, patung Selamat Datang, Tugu Tani, gedung bertingkat, pelabuhan modern Tanjung Priok, LRT masa depan,  ondel-ondel, penari Japong, tukang kerak telor, tanjidor,  ornamen rumah Betawi, dan lain-lain seputar itu.

Saya tidak tahu apakah daya kritik anak-anak SMA/SMK Jakarta terhadap lingkungan hidupnya memang hanya sebegitu (memprihatinkan). Atau mereka diarahkan untuk hanya boleh melukiskan apa yang bagus yang mereka lihat, bukan apa yang salah dan harus dibenahi menurut pemikiran kritis mereka. Yang jelas, mural-mural itu tak menceritakan "Jakarta Yang Sejujurnya".

"Jakarta Yang Sejujurnya" yang saya maksud adalah Jakarta yang kompleks, majemuk, dan problematik. Saya sebenarnya berharap melihat mural "kritik sosial". Semisal mural terkait kemacetan, kebanjiran, kekumuhan, kekacauan trotoar, korupsi, tawuran, reklamasi, eksploitasi, dan lain-lain sejenis.

Saya cukup waras untuk tidak berharap melihat lukisan atau "drawing" kritik sosial setajam karya almarhum Semsar Siahaan. Cukup yang biasa-biasa saja. Tapi mungkin harapan semacam itu juga tergolong "lebay". Karena Pak Anies bisa jadi tak begitu nyaman dengan isu-isu semacam itu.

Pada akhirnya, saya kira, Pak Anies mesti lebih mengepankan pewujudan "Lukisan Jakarta yang Sejahtera dan Serasi".  Ketimbang lukisan "indah" di pilar-pilar jalan layang dan nantinya warna-warni kampung.  Jika tak ada kesejahteraan dan keserasian, maka itu semua  cuma jadi gincu atau pupur kota Jakarta, yang menyembunyikan "keburukan rupa" di baliknya. Jujur,  itu bukan Jakarta yang saya impikan, Pak Anies!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun