Saya bayangkan, di tepian berpasir itulah tahun 1857 Pak Wallace berdiri takjub menatap ribuan kupu-kupu warna warni ragam jenis terbang di pucuk pepohonan, kerlap-kerlip diterpa berkas sinar matahari pagi. Sebuah pemandangan surgawi, tiada tara.
Tapi, berdiri di tepian berpasir itu, berputar 360 derajat, mata saya tak melihat seekorpun kupu-kupu di Kassi Kebo. Â Di mana kini "Kerajaan Kupu-kupu" yang dikisahkan Pak Wallace itu. Apakah sudah punah ditaklukkan Kerajaan Burung atau bahkan Kerajaan Manusia? Sebab manusia terkenal sebagai pemusnah flora dan fauna paling hebat.
Kami berempat kecewa berat tak mendapati seekorpun kupu-kupu di Bantimurung. Melihat aku murung, isteriku dan anak-anak mengajak masuk ke gua batu yang terletak di sisi danau. Kata para pemandu yang siap di mulut gua, itu adalah gua pertapaan Raja Toalaka tempo dulu. Â Di dalam gua, pemandu itu menunjukkan tempat-tempat tapa, sumber air wudhu, dan tempat shalat Sang Raja. Â Ya, lumayanlah, jelajah gua untuk pelipur lara.
Perjalanan turun dari Kassi Kebo ke pintu keluar kawasan Bantimurung terasa lebih mudah dan cepat. Walau mata masih tetap jelalatan berharap melihat seekor kupu-kupu terbang. Sebab bukan ke Bantimurung namanya kalau tak bersua kupu-kupu. Tapi, sampai keluar kawasan dan kembali ke areal parkiran, tak juga ada seekor kupu-kupu terbang di udara Bantimurung.
"Kita beli awetan kupu-kupu saja," usul anak-anak. Maka jadilah seperti itu. Setelah tawar-menawar yang sedikit alot, selusin awetan kupu-kupu seharga Rp 75,000 pindah ke tangan kami. Tidak semua kupu-kupu Bantimurung, ada yang berasal dari Papua. Tapi, ya, lumayanlah untuk oleh-oleh kenangan, bukti pernah ke Bantimurung.
"Datanglah di bulan Agustus. Itu musim kupu-kupu. Kalau Desember tidak ada kupu-kupu," kata pedagang awetan kupu-kupu menanggapi keluhan kami tak bersua kupu-kupu. Yaah, dia tidak tahu kami datang ke Bantimurung karena rejeki Liburan Natal, bukan Libur Agustusan. Salah musim, ternyata.
"Itu kupu-kupu!"  Anak bungsu saya tiba-tiba bersorak, sambil menunjuk ke arah pucuk perdu di sebelah kiri, selang berapa menit  mobil yang kami tumpangi bergerak ke luar kawasan Bantimurung. Spontan dengan mata berbinar gembira kami menoleh ke kiri dan ... benar ... ada seekor kupu-kupu terbang di sana.
Di mata saya, kupu-kupu itu tak jauh beda dengan kupu-kupu yang kerap singgah di taman kecil di depan rumah kami. Tapi mohon dimaklumi saja kegembiraan kami. Sebab setelah hampir dua jam menjelajah Bantimurung tanpa bersua seekorpun kupu-kupu, pada akhirnya Tuhan mengirimkan seekor ke depan mata, sebelum kami benar-benar melewati gerbang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H