Keluar dari dalam gua itu, yang paling mengesankan adalah keringat yang membuat baju saya basah kuyup seperti habis terendam banjir. Â Tapi tidak masalah sebab di jalan masuk pekuburan ada lapak-lapak penjual souvenir termasuk t-shirt bertema Toraja. Â Bisa beli sepotong untuk ganti, dan itulah yang saya lakukan kemudian.
Pekuburan Toraja seperti di Kete Kesu ini adalah contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa kematian adalah sumber kehidupan. Â Karena tradisi pekuburan yang unik itu, maka pekuburan itu menjadi obyek wisata budaya, sehingga tercipta sumber mata pencaharian baru bagi orang Toraja setempat.Â
Orang Toraja lalu memiliki sumber nafkah kedua setelah pertanian, yaitu kegiatan ekonomi wisata pekuburan. Â Mereka mengusahakan toko-toko souvenir khas Toraja di beberapa rumah di Kete Kesu dan sepanjang jalur menuju area pemakaman.Â
Di latar belakang para pedagang itu, ada ratusan pengrajin yang memasok barang-barang souvenir seperti kaos, kalung manik-manik, tas, kain, ukiran, miniatur tongkonan, miniatur patung "setia sampai ajal". Â Juga ada pengrajin makanan dan minuman khas setempat, terutama bubuk kopi Toraja yang terkenal itu.
Saya sendiri membeli beberapa bungkus kopi asli bikinan setempat, jenis Arabika dan Robusta. Â Baik bubuk kopi racikan asli kampung, maupun yang sudah racikan modern. Â Yang terakhir ini katanya sempat meraih Juara II pada suatu pameran kopi di Jakarta. Â Ada bukti trofinya. Okelah, saya minta tester, dan memang luar biasa rasanya. Setidaknya menurut indera pengecap saya.
Isteri dan anak-anak saya juga membeli beberapa jenis souvenir dengan harga terjangkau. Â Katanya untuk oleh-oleh dibagikan pada kerabat dan teman-temannya. Â Sebagai bukti sudah pernah menjejak di pemakaman Toraja. Â
Nah, pada titik ini, menjadi jelas bahwa pemakaman Toraja tidak hanya menghubungkan wisatawan dengan orang Toraja, tapi juga dengan orang-orang lain di tempat jauh, dengan perantaraan souvenir atau oleh-oleh khas Toraja itu.
Saya, bersama keluarga tentu saja, meninggalkan Kete Kesu dengan mengenakan t-shirt baru bergambar tanduk kerbau bersusun, seharga Rp 35,000. Â Murah? Relatiflah, dan saya tidak terlalu memikirkannya. Â
Saya lebih memikirkan mengapa kami tidak menemukan pentunjuk untuk menemukan seorang pemandu lokal, "tuan rumah", yang cukup mumpuni menerangkan Ketu Kese dan pemakaman Toraja yang unik itu kepada kami.Â
Saya jadi teringat waktu berkunjung ke pemakaman batu Raja Sidabutar di Tomok. Di sana kami langsung disambut sejumlah pemandu lokal yang siap mengisahkan sejarah pemakaman raja-raja itu kepada kami.Â
"Tapi, mungkin saya saja yang kurang aktif mencari pemandu tadi," simpul saya menghibur diri sambil meluncur dengan mobil ke Rantepao.***