Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosiologi Pekuburan Orang Toraja

6 Maret 2018   14:57 Diperbarui: 6 Maret 2018   15:33 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluar dari dalam gua itu, yang paling mengesankan adalah keringat yang membuat baju saya basah kuyup seperti habis terendam banjir.  Tapi tidak masalah sebab di jalan masuk pekuburan ada lapak-lapak penjual souvenir termasuk t-shirt bertema Toraja.   Bisa beli sepotong untuk ganti, dan itulah yang saya lakukan kemudian.

Pekuburan Toraja seperti di Kete Kesu ini adalah contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa kematian adalah sumber kehidupan.   Karena tradisi pekuburan yang unik itu, maka pekuburan itu menjadi obyek wisata budaya, sehingga tercipta sumber mata pencaharian baru bagi orang Toraja setempat. 

Orang Toraja lalu memiliki sumber nafkah kedua setelah pertanian, yaitu kegiatan ekonomi wisata pekuburan.   Mereka mengusahakan toko-toko souvenir khas Toraja di beberapa rumah di Kete Kesu dan sepanjang jalur menuju area pemakaman. 

Di latar belakang para pedagang itu, ada ratusan pengrajin yang memasok barang-barang souvenir seperti kaos, kalung manik-manik, tas, kain, ukiran, miniatur tongkonan, miniatur patung "setia sampai ajal".   Juga ada pengrajin makanan dan minuman khas setempat, terutama bubuk kopi Toraja yang terkenal itu.

Saya sendiri membeli beberapa bungkus kopi asli bikinan setempat, jenis Arabika dan Robusta.  Baik bubuk kopi racikan asli kampung, maupun yang sudah racikan modern.  Yang terakhir ini katanya sempat meraih Juara II pada suatu pameran kopi di Jakarta.  Ada bukti trofinya. Okelah, saya minta tester, dan memang luar biasa rasanya. Setidaknya menurut indera pengecap saya.

Isteri dan anak-anak saya juga membeli beberapa jenis souvenir dengan harga terjangkau.  Katanya untuk oleh-oleh dibagikan pada kerabat dan teman-temannya.  Sebagai bukti sudah pernah menjejak di pemakaman Toraja.  

Nah, pada titik ini, menjadi jelas bahwa pemakaman Toraja tidak hanya menghubungkan wisatawan dengan orang Toraja, tapi juga dengan orang-orang lain di tempat jauh, dengan perantaraan souvenir atau oleh-oleh khas Toraja itu.

Saya, bersama keluarga tentu saja, meninggalkan Kete Kesu dengan mengenakan t-shirt baru bergambar tanduk kerbau bersusun, seharga Rp 35,000.  Murah? Relatiflah, dan saya tidak terlalu memikirkannya.  

Saya lebih memikirkan mengapa kami tidak menemukan pentunjuk untuk menemukan seorang pemandu lokal, "tuan rumah", yang cukup mumpuni menerangkan Ketu Kese dan pemakaman Toraja yang unik itu kepada kami. 

Saya jadi teringat waktu berkunjung ke pemakaman batu Raja Sidabutar di Tomok. Di sana kami langsung disambut sejumlah pemandu lokal yang siap mengisahkan sejarah pemakaman raja-raja itu kepada kami. 

"Tapi, mungkin saya saja yang kurang aktif mencari pemandu tadi," simpul saya menghibur diri sambil meluncur dengan mobil ke Rantepao.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun