Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosiologi Pekuburan Orang Toraja

6 Maret 2018   14:57 Diperbarui: 6 Maret 2018   15:33 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TribunTravel.com - Tribunnews.com

Sempat terpikir olehku, di masa depan, nasibku akan seperti itu juga, tinggal tulang-belulang.  Sebelum kemudian lapuk menjadi tanah, menggenapi hakekat manusia "dari tanah kembali ke tanah".

Lebih "menyeramkan", menurut saya, patung "tau-tau" yang disimpan dalam gua yang diberi pintu besi.  Dikerangkeng begitu, mungkin untuk mencegah pencurian. Konon harga "tau-tau" itu sangat menggiurkan di pasar gelap "benda antik".  Agak menyeramkan bagi saya karena ekspresi kaku dan dingin dari barisan "tau-tau" itu.

Tapi hilir-mudik kelompok-kelompok wisatawan yang tidak saling bertegur-sapa satu sama lain, agaknya telah menjadi penawar "keseraman" itu. Sehingga untuk selebihnya perasaan saya secara umum baik-baik saja.   

Hanya nafas saya yang agak tersengal, karena agak memaksa badan tua mendaki cepat menyusuri tangga semen hingga ke pinggang bukit batu, lokasi pemakaman itu. Maklum, anak-anak sudah di atas sana, tapi bapaknya masih terpuruk di bawah sini.

Di ujung atas tangga, tepat di pinggang tebing, barulah kami bertemu dengan seorang "tuan rumah".  Dia seorang anak muda dengan "bohlam" menyala di tangan, yang menawarkan jasa mengantar kami memasuki sebuah gua di pinggang tebing itu.  Katanya, di dalam masih ada kerangka jenazah penjaga gua, batu buaya, batu kodok, dan batu berkilau. 

Tapi karena di dalam gelap, maka harus menyewa "bohlam" Rp 25,000 per buah. Untuk jasa "pemandu", terserah "kemurahan hati bapak" saja.  Ya, sudah, sepakat sewa satu "bohlam" untuk masuk gua.  Sekadar dapat pengalaman masuk gua di pemakaman Toraja, kata isteri saya.

Anak muda pemandu wisata gua makam itu dengan bersemangat menunjukkan pada kami hal-hal yang dijanjikannya di mulut gua tadi.  "Ini batu buaya," katanya sambal menunjuk pada sebentuk batu di sebuah ceruk pada dasar gua.  "Mana?" tanya saya yang tak melihat batu berbentuk buaya sama sekali. 

"Itu, Pak.  Pakai imajinasi sedikit," kata anak bungsu saya yang rupanya sudah melihat sosok batu buaya.  Saya coba berimajinasi, tapi yang terbayang adalah sosok ikan cucut. Hadeuh...!

Masuk merangkak lebih dalam lagi, kami sampai di ujung gua, sebuah ruang yang agak lega.  "Itu batu kodok," kata pemandu amatiran itu bersemangat sambal menunjuk ke ceruk di atap gua.  "Mana?" tanya saya lagi. 

"Pakai imajinasi, Paaak...", anak saya mengingatkan lagi.  Okelah, kerahkan imajinasi, tapi saya tetap hanya melihat gundukan stalagmit yang tumpul.  Mungkin usia tua membuat imajinasi lemah.

Tentang batu berkilau itu, kami tidak melihatnya sama sekali.  "Ini kena tetesan air, jadi hilang kilaunya," kata pemandu memberi alasan.  Okelah, percaya.  Lagi pula, air di atas batu itu tetap berkilau saat diterpa sinar "bohlam".  Jadi tidak kecewa-kecewa amatlah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun