Istilah "pekuburan" mungkin tidak begitu tepat untuk etnik Toraja.  Sebab jasad orang yang meninggal di sana, jika memperturutkan adat pemakaman asli, tidaklah dikubur.  Tetapi digantung dalam peti jenazah di atap gua, atau diletakkan dalam liang alam atau buatan di dinding terjal bukit  batu, atau diletakkan di lantai gua.Â
Letak peti jenazah itu tergantung status sosial orang meninggal semasa hidupnya. Bangsawan tinggi ada di langit-langit  gua, bangsawan tengah di tengah, dan warga kebanyakan ada di bagian bawah.
Tapi untuk sebagian, pemakaman tidak lagi dilakukan di gua pada dinding bukit batu, tetapi dalam rumah jenazah terbuat dari beton.  Ukuran rumah itu bervariasi, tapi umumnya dapat memuat  sejumlah jenazah.  Semakin tinggi status sosial, maka semakin besar dan megah pula rumah jenazah.Â
Rumah-rumah jenazah itu bisa dibuka-tutup sesuai keperluan.  Lazim  dibuka pada saat upacara "rambu solo" (pemakaman jasad) dan "ma'nene" (upacara pembersihan dan penggantian pakaian jenazah).  Ini adalah upacara-upaca besar dengan biaya besar, sehingga memerlukan pembiayaan bersama oleh kerabat besar.
Tapi saya tidak akan membahas lebih jauh tentang sejarah dan filosofi pemakaman orang Toraja. Â Juga tidak akan membahas upacara "rambu solo" dan "ma'nene". Â Hal itu sudah terlalu banyak dibahas dan dikisahkan oleh para peneliti dan pelancong, baik dalam buku-buku maupun media sosial.
Saya hanya ingin menuturkan sedikit pengalaman sosiologis dari pengalaman berkunjung sebentar, bersama keluarga,  ke tiga lokasi  pemakaman orang Toraja pada akhir tahun 2017 lalu.  Yang pertama kami kunjungi adalah lokasi pemakaman di Desa Kete Kesu, lalu pemakaman Londa di Desa Sandan Uai, dan terakhir lokasi pemakaman bayi di Desa Kambira.Â
Tapi saya hanya akan menuturkan pengalaman sosiologis di Kete Kesu saja. Â Karena adanya kesamaan pola pada pengalaman sosiologis kami di tiga tempat itu.
Sosiologi pekuburan tidaklah membahas orang meninggal, tetapi orang hidup yang ditinggal dan yang datang melihat, baik ziarah mapun untuk tujuan pemeliharaan dan wisata.  Fokus analisisnya di situ  adalah wilayah kematian (kuburan) sebagai titik simpul yang mempertautkan orang-orang hidup.Â
Dalam kasus sosiologi pekuburan orang Toraja, saya membatasi diri pada paparan interaksi antara wisatawan dan orang setempat yang menjadi "tuan rumah" wisata pekuburan. Â Pertanyaannya di sini, apakah orang Toraja setempat sudah menjadi "tuan rumah" yang baik bagi "tamu wisatawan pekuburan"?
Di situlah masalahnya. Â Ketika memasuki pelataran barisan "tongkonan" (rumah adat Toraja) di Kete Kesu, kami tidak mendapatkan petunjuk apapun untuk menemukan seseorang "tuan rumah" yang bisa menjelaskan desa itu dan tradisi pemakamannya yang unik. Â Akibatnya saya harus menjadi "pemandu" bagi keluarga, dengan bekal pengetahuan dari hasil membaca dan menonton.
Jauh dari bayangan saya semula, pekuburan Kete Kesu ternyata tidaklah menyeramkan, walau peti jenazah lapuk tergantung di dinding tebing dan langit-langit gua. Juga tulang belulang dan tengkorak bertebaran atau bertonjolan di mana-mana. Â Terkesan bahwa tengkorak-tengkorak itu "ramah" menyapa para pengunjung. Â Sehingga kita nyaman berfoto dengan latar belakangnya. Â