Berita demo penolakan langkah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) Pak Ahok  menimbulkan rasa ngilu di benak. Aneh sekali. Tak bolehkah seorang warga negara menuntut keadilan bagi dirinya?
Memang kali ini warga negara itu kebetulan adalah Pak Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini mendekam dalam penjara atas putusan bersalah terbukti melakukan penghinaan agama. Dengan statusnya itu, bagi sekelompok orang, dia memang dipersepsikan sebagai "musuh publik (tertentu)".
Tapi seperti apapun persepsi "publik", PK tetaplah hak setiap warga yang kebetulan berstatus narapidana. Hak itu  dijamin oleh hukum. Tujuannya untuk memperoleh keadilan sejati, atau yang seadiladilnya bagi warga tersebut.
Jadi, kalau sekarang sekelompok orang berdemonstrasi menolak PK Pak Ahok, maka sejatinya itu melanggar hak asasi seorang warga terpidana untuk mendapatkan keadilan? Tidak ada dasar hukum ataupun moral bagi  kelompok tersebut menolak langkah PK yang ditempuh Pak Ahok.
Kentara sikap penolakan itu dilandasi kepentingan yang sifatnya primordialistik.  Coba misalnya  Buni Yani yang mengajukan PK atas perkaranya. Apakah kelompok yang sama akan berdemo menolak? Justru sebaliknya, sudah bisa diduga, mereka akan berdemo mendukungnya.
Timbul pertanyaan, ada ketakutan apa sebenarnya  pada diri kelompok pendemo itu, sehingga harus menentang PK untuk Pak Ahok? Takut PK Pak Ahok dikabulkan? Lha, kalau itu keputusan yang seadil-adilnya, mengapa harus ditakuti? Aneh ada orang takut pada keadilan.
Atau takut pada kemungkinan implikasi lanjutannya? Misalnya, jika permohonan PK Pak Ahok dikabulkan lalu dia digandeng Pak Jokowi sebagai cawapresnya? Itu hyper-paranoia namanya. Pak Jokowi terlalu cerdas untuk langkah "bunuh diri politik" semacam itu. Menggandeng misalnya Bu Sri Mulyani atau Bu Susy sebagai caeapres jauh lebih bagus.
Atau takut jika PK Pak Ahok dikabulkan, yang artinya status narapidana ditanggalkan dari Ahok, Â lalu ada implikasi bahwa tuntutan demo berjilid-jilid dulu untuk memenjarakan Ahok sebenarnya tidak punya dasar hukum yang kuat? Â Tapi semata-mata hanya karena pengadilan "mengakomodasi tekanan massa" sehingga memvonis bersalah Ahok? Jadi semacam legalisasi persekusi massa atas individu, untuk tidak mengatakan "tirani mayoritas"?
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab "ya", implikasi lanjutnya bangunan kisah sukses kemenangan Anies-Sandi memang langsung "cacat moral". Menjadi kemenangan atas dasar "legalisasi persekusi" pada Pak Ahok sebagai  pesaing.
Di lain pihak Pak Ahok sendiri sejatinya sudah bersikap kasatria. Dia menerima vonis 2 tahun dan tidak mengajukan banding. Hanya  sekarang dia melihat seberkas cahaya keadilan melalui langkah PK. Antara lain dari kasus Buni Yani yang divonis penjara 1.5 tahun karena terbukti bersalah memotong video pidato Ahok. Â
Langkah PK oleh Ahok itu legal, bukan pelanggaran hukum atau kejahatan. Jadi apa relevansinya sebuah  demo untuk menolaknya?
Ironisnya, para pendemo itu pasti  tahu  ada seseorang yang digadang-gadang sebagai "tokoh besar" tapi "melarikan diri" dari tanggungjawab hukum, dan tak kunjung pulang dari Timur Tengah  ke Indonesia. Absurdnya,  orang tersebut justru menuntut keadilan ditegakkan  untuknya, tapi dia sendiri tidak berani secara kasatria menghadapi pengadilan. Bukankah  orang seperti ini lebih pantas didemo?
Memang jalan hidup Pak Ahok adalah sebuah ironi. Sepanjang karirnya menjadi Gubernur DKI, seluruh energinya dicurahkan untuk mengadministrasikan keadilan sosial, khususnya bagi masyarakat lapis bawah  Jakarta.
Tapi, dulu, justru himpunan bagian warga dari lapis bawah yang dibelanya itulah  yang berdemo untuk memasukkan Pak Ahok ke penjara. Sekarang bagian warga itu juga tampaknya yang berdemo menolak Pak Ahok mencari keadilan bagi dirinya.
Jadi, setelah semua pengorbanannya untuk rakyat Jakarta. Juga,  setelah semua program pembangunan yang dijalankannya kini dilanjutkan Pak Anies secara "malu-malu". Ternyata  masih ada kelompok warga yang terkesan melarang Pak Ahok memperjuangkan keadilan bagi dirinya.
Tentulah ada tokoh-tokoh tertentu di belakang kelompok pendemo itu. Â Maka ada sebuah pertanyaan, kapan tokoh-tokoh tersebut mau menjadi Guru bagi warga lapis bawah? Mengajar mereka menjadi manusia sejati yang bermartabat, bukan "wayang orang" yang memainkan skenario politik. Mengajar mereka untuk bertindak jujur, Â bebas dari kepentingan promordialistik, Â bebas dari kecurigaan dan ketakutan yang diciptakan sendiri? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H