Kasus pembukaan  lapangan rumput Monas untuk publik juga tergolong kebablasan. Masalahnya di sini bukan soal Pemda punya uang untuk menanam kembali rumput yang mati terinjak-injak. Tapi soal matinya nilai penghormatan manusia terhadap alam sekitar.  Sebab bukankah manusia dan rerumputan kota berkoeksistensi? Manusia boleh memanfaatkan rumput, tapi tidak berarti harus membunuhnya. Di Monas itu kebablasan, manusia membunuh rerumputan.
Itu adalah kasus-kasus "kecil" pembangunan berimplikasi pembablasan di Jakarta yang dibesut Pak Anies. Tak ada jaminan bahwa kasus-kasus pembablasan semacam itu tidak akan terjadi lagi. Semisal PKL mulau mengokupasi halte-halte bus di jalur protokol Sudirman dan Gatot Subroto. Atau kegiatan musiman yang telah dilarang: Â jualan kambing dan sapi di trotoar.
Kasus-kasus itu mungkin dijustifikasi dengan jargon "Jakarta Rumah untuk Semua". Okelah, tapi tentu bukan "rumah kumuh centang-perenang untuk semua", bukan?
Warga Jakarta mendambakan "rumah bersama" yang lebih baik, yang lebih "membebaskan". Dalam arti lebih membebaskan warga dari tekanan-tekanan politik, ekonomi, dan budaya. Bebas dari pemaksaan hegemoni aliran politik tertentu, mashab ekonomi tertentu, dan tipe budaya tertentu.
Jadi Pak Anies, tolong dipastikan bahwa kebijakan dan program pembangunan Jakarta itu berorientasi pada pembebasan manusia Jakarta dari segala macam tekanan politik, ekonomi, dan budaya yang tak membahagiakan. Bukankah janji Pak Anies juga untuk mewujudkan Jakarta dengan kualitas "maju kotanya bahagia warganya"?***