Lapis bawah dalam masyarakat adalah subyek sekaligus obyek politik. Sebagai subyek politik lapis itu punya kekuatan suara yang signifikan untuk menentukan rezim penguasa dan arah politik. Sebagai obyek politik, justru karena kukuatan suaranya, lapis bawah itu menjadi obyek kapitalisasi  politik yang menggiurkan bagi partai politik.
Lantas, apa relevansi dan urgensinya bagi Pak Jokowi untuk  antisipasi kapitalisasi "lapis bawah" khususnya tahun 2018 ini?
Sekurangnya ada tiga alasan pokok yang saling terkait.
Pertama, tahun 2018 ini "disepakati" sebagai "tahun politik". Tahun ini partai-partai politik sibuk membentuk kapital politik untuk menyokong pemenangan capresnya pada Pilpres 2019.
Kedua, Pak Jokowi dipastikan akan maju lagi sebagai petahana presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Berarti harus dipastikan kapital politik capres pesaingnya lebih kecil..
Ketiga, terdapat indikasi partai-partai oposisi yang akan mendukung capres pesaing tahun 2019  sudah mulai mengkapitalisasi lapis bawah untuk  menguatkan posisi. Pak Jokowi jangan sampai "ketinggalan kereta".
Lapis bawah itu mencakup seluruh penduduk miskin yang jumlahnya mencapai 27 orang (10%) di Indonesia (data September 2017). Serta lapis tengah-bawah yang ada di atasnya.
Secara keseluruhan lapis bawah itu mencakup sekitar 50% dari total penduduk Indonesia. Â Mulai dari ragam penganggur, pelaku sektor informal, buruh tani/industri, komunitas terpinggir, Â sampai petani/nelayan/pengusaha mikro/kecil.
Jadi bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan lapis bawah itu sebagai kapital politik. Karena mencakup sekitar 50% suara pemilih. Cukup untuk modal pemenangan capres.
Langkah-langkah Pak Anies Baswedan, Gubernur Jakarta kini, adalah indikasi terjelas kapitalisasi politis lapis bawah oleh partai-partai oposisi pendukung calon pesaing Pak Jokowi.
Langkah-langkah Pak Anies bersifat frontal, menegasikan atau bahkan melawan (anti-tesis) kebijakan/program pembangunan era gubernur sebelumnya (Jokowi/Ahok/Djarot).