Selepas kegiatan Reuni Alumni 212 di Lapangan Monas, yang diklaim panitianya sebagai acara keagamaan, tanggal 2 Desember 2012 lalu, muncul pertanyaan bolehkah kegiatan perayaan Natal akbar umat Kristiani Jakarta diselenggarakan di sana?
Jika acuannya Pergub Nomor 186/2017 tentang Perubahan Atas Pergub Nomor 160/2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monas, yang baru diberlakukan Pak Anies, tentu saja boleh. Pergub itu membuka Lapangan Mobas untuk kegiatan pendidikan, sosial, budayaan, dan keagamaan.
Tapi lebih mendasar dari sekadar boleh atau tidak, pertanyaan yang penting diajukan adalah perlukah (atau pentingkah) perayaan Natal akbar umat Kristiani Jakarta dilakukan di Monas?
Jika pertanyaan itu diajukan kepada Pak Anies selaku Gubernur Jakarta, akan bagaimanakah jawabnya? Tidak usah pusing Pak Gubernur, saya bantu untuk menjawabnya: "Tidak perlu!"
Mengapa tidak perlu? Sekurangnya ada dua alasan pokok.
Pertama, umat Kristiani Jakarta sudah memiliki rumah ibadah tetap ataupun darurat. Mereka cukup merayakan Natal secara khusuk, nyaman, dan aman di rumah-rumah ibadah pada malam Natal (24 Desember) dan pada Hari Raya Natal (25 Desember). Tidak ada perlunya memanggungkan Perayaan Natal di ruang publik terbuka seperti Monas, karena justru berisiko mengecilkan sakralitasnya. Kecuali mau mengikuti jejak kaum Farisi di Yudea 2000-an tahun lalu, yang gemar berdoa dengan suara lantang di perempatan jalan atau di sinagoga.
Kedua, perayaan Natal adalah kegiatan keagamaan yang sifatnya eksklusif untuk penganutnya, sehingga seharusnya tidak dilaksanakan di ruang publik seperti Monas, mengingat Monas adalah kawasan inklusif, terbuka bagi siapa saja tanpa pandang agama. Tidak ada perlunya sebuah perayaan Natal harus menutup akses publik Jakarta pada sebuah ruang yang menjadi haknya. Dalam masyarakat multireligi seperti Jakarta, hal semacam itu justru bisa mengundang rasa antipati publik terhadap umat Kristiani.
Pertanyaan lanjut, jika perayaan Natal akbar di Monas tidak perlu, lantas apa yang perlu untuk umat Kristiani Jakarta? Sekurangnya ada tiga hal.
Pertama, umat Kristiani Jakarta perlu jaminan untuk ekspresi kegembiraan Natal, khususnya untuk memasang pernak-pernik atau atribut Natal di ruang-ruang, seperti rumah, gereja, pertokoan swasta, hotel swasta, dan lain-lain, yang bukan ruang publik. Tentu dengan catatan tidak boleh ada keharusan bagi umat non-Kristiani, atau bahkan umat Kristiani, untuk mengenakan atribut Natal.
Kedua, umat Kristiani Jakarta perlu jaminan ketenangan dan keamanan pada saat merayakan Natal di rumah/tempat ibadah masing-masing jemaat tanggal 24-25 Desember. Ketenangan dan keamanan dalam arti tidak ada gangguan dalam bentuk apapun dari sesuatu pihak.
Ketiga, di luar perayaan Natal itu, umat Kristiani Jakarta perlu dijamin hak-hak ibadahnya, baik ibadah mingguan (Hari Minggu) maupun ibadah umat basis seperti kegiatan doa kelompok sewilayah permukiman, tanpa kecemasan akan terkena tindak persekusi dari pihak-pihak tertentu.
Terkait hal terakhir ini, di Jakarta memang banyak bermunculan komunitas-komunitas gerejawi kecil yang memfungsikan rumah tinggal dan ruko sebagai gereja. Terhadap komunitas-komunitas semacam itu, Pak Anies selaku Gubernur Jakarta, saya pikir perlu mengambil suatu kebijakan yang tak melanggar hak-hak agama mereka, tetapi juga tak menggabggu harmoni sosial di lingkungannya. Untuk itu, tentu perlu sebuah evaluasi serius yang bersifat holistik.
Jadi, Pak Anies, apa yang diperlukan umat Kristiani Jakarta itu sederhana saja, tidak berlebihan, hanya jaminan hak dasar melakoni agamanya, dalam kondisi harmoni sosial dengan kelompok-kelompok umat beragama lainnya. Bukankah itu juga janji kampanye Pak Anies dulu?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H