Pola pola deahokisasi semacam itu menurut saya tidak sehat, juga tidak membuat kita lebih cerdas. Ada risiko jika Pak Anies fokus pada deahokisasi, karena dituntut JKT 58 untuk memenuhi janji-janji kampanye yang bersifat "antitesis Ahok", maka tujuan pembangunan Jakarta bisa-bisa berubah menjadi penghapusan jejak karya Pak Ahok.Â
Itu sudah pasti mubazir, dan membuat kita tak cerdas, sebab karya yang baik dan benar dari Ahok tetaplah baik dan benar, sepanjang karya itu memberi manfaat nyata bagi warga Jakarta. Jadi, tidak haram hukumnya melanjutkan karya yang baik dan benar dari Ahok, sehingga tidak perlu juga deahokisasi.
Satu hal yang sangat penting dikritik dari pengeritik dan pendukung Pak Anies, mereka kurang jeli melihat bahwa deahokisasi atau dorongan kuat untuk pemenuhan daftar janji-janji kampanye itu, telah menyebabkan Pak Anies "lupa" (?) atas kritik substantifnya pada Pak Ahok waktu kampanye dulu.
Kritik substansil yang saya maksud adalah soal rapor merah kepemimpinan Ahok (data 2015) yaitu realisasi program  70.84%, nilai laporan kinerja CC, opini audit BPK Wajar Dengan Pengecualian, peringkat Ombudsman 16 se-Indonesia. Ditambah skor Indeks Pembangunan Manusia hanya 78.99.
Tuntutan yang harus dialamatkan pada Pak Anies sebenarnya adalah bagaimana langkah-langkah kongkrit untuk mencapai realisasi program 100%, laporan kinerja A, opini audit BPK WTP, peringkat Ombudsman 1, dan IPM 85 di akhir periode kegubernurannya. Sampai sekarang, saya masih belum mendengar sesuatu yang memberi harapan menuju ke sana.
Jadi, Pak Anies, kalau boleh saran, mohon tidak terjebak pada antitesis Ahok atau deahokisasi, atau hanya terpaku pada pemenuhan janji-janji kampanye, agar tidak lalai mengejar tujuan pembangunan Jakarta yang lebih substantif.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H