Itu juga daya sudah tahu. "Pak Maman merawat berapa makam?" "Ada dua puluh tiga, Pak." Jadi, jika per makam Pak Maman mendapat uang lelah Rp 50,000 per bulan, berarti total per bulan tambahannya Rp 1,150,000. Artinya, penghasilan pasti Pak Maman adalah Rp 4,45 juta  per bulannya. "Berarti, ditambah rejeki tak pasti berupa pemberian keluarga almarhum, Pak Maman bisa mendapat lima juta rupiah per bulan?" "Alhamdulillah, Pak," jawabnya sambil tersenyum.
"Bisa lebih banyak lagi ya, kalau Pak Maman merawat lebih banyak makam?" pancing saya. "Ya bisa, tapi kan harus bagi-bagi rejeki dengan teman-teman non-pe-ha-el, Pak," jawab Pak Maman, membuat saya tercenung. "Ada etika subsistensi di pekuburan ini? Gejala involusi kerja pekuburan? Gejala berbagi kemiskinan?" Saya bertanya-tanya dalam hati.
"Punteun, Pak, bade neruskeun padamalan," Pak Maman minta ijin melanjutkan kerja. "Mangga...mangga...nuhun nya, Pak Maman." "Sami-sami, mangga..." Saya merasa tak enak hati, telah menyita sedikit waktu kerja Pak Maman.
Sambil beranjak balik ke arah makam mendiang kerabat, pertanyaan tentang etika subsistensi, involusi, dan berbagi kemiskinan itu berputar-putar dalam benak saya. Solidaritas sosial antar pekerja kuburan itu mendorong  mereka untuk berbagi rejeki yang pertumbuhannya kecil. Maka ada pembatasan jumlah pekerja di sana, total semuanya 162 orang, termasuk di dalamnya 42 orang PHL atau Tim Buser. Lebih dari itu, berarti pengurangan rejeki, karena keharusan berbagi untuk bertahan hidup (survival) dalam kondisi sama-sama miskin.
Tapi siapa yang bisa menghentikan pertumbuhan tenaga kerja perkotaan? Siapa pula yang bisa menghentikan migran dari Karawang ke Kampung Kandang? Pada titik tertentu, jika masalah ini tidak diantisipasi, maka ada risiko pekuburan Kampung Kandang berubah nenjadi "kantong kemiskinan" Jakarta.
Berpikir tentang risiko terburuk itu, sambil melangkah pulang, saya membayangkan areal pekuburan Kampung Kandang ditanami pohon buah-buahan. Membayangkan areal itu mengembalikan kejayaan Jagarsa sebagai desa kebun buah-buahan di selatan Jakarta. Sebagaimana digambarkan Prof. Soeboer Boedhisantoso awal 1960-an.
Jika pekuburan itu disulap menjadi kebun buah-buahan, maka keluarga pekerja kuburan di Kampung Kandang tidak semata menggantungkan nafkah pada kerja kuburan. Tapi juga pada kerja agrowisata buah-buahan tropis. Perpaduan wisata makam dan agrowisata, tentulah sangat unik, dan menantang khususnya bagi generasi milenial.
Saya membayangkan ada sarana flying fox di sana, yang memungkinkan remaja milenial selfie meluncur di udara, sambil ditunggui lubang-lubang kubur menganga di bawahnya. Sambil senyum geli membayangkan momen semacam itu, saya membelokkan mobil ke kiri, ke jalan raya, keluar dari komplek pekuburan Kampung Kandang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H