Selain itu masih ada sumber penghasilan tambahan, yaitu margin dari kerja penanaman rumput makam (biaya Rp 600, 000/makam) dan margin dari pesanan pembuatan nisan (biaya Rp 1.2 juta/nisan).
Sumber lainnya yang tak pasti adalah sekadar "uang kopi" dari kerabat almarhum/ah saat datang ziarah makam. Jumlahnya tergantung pada faktor-faktor kemurahan hati kerabat dan kekerapan kunjungan ziarah. Apakah ziarah tiap minggu, tiap bulan, atau hanya sekali atau dua kali setahun bertepatan hari raya keagamaan. Menurut pengalaman Pak Dadang, kalau dikumpul-kumpul dalam seminggu bisa diperoleh Rp 50,000, atau Rp 200,000 per bulan.
Jika dikumpul-kumpul semua, pada kasus Pak Dadang, pekerja kuburan hanya bisa mendapatkan penghasilan rata-rata Rp 1.6 juta per bulan. Jauh di bawah upah minimum provinsi DKI Jakarta Rp 3.3 juta per bulan.
Kajian sosiologis sepintas atas gejala sosial di pekuburan ini tiba pada sebuah kesimpulan awal, bahwa kelompok pekerja kuburan itu adalah kelompok marginal perkotaan. Baik dilihat dari status hukum pekerjaannya yang informal, penghasilan per bulannya yang jauh di bawah UMP DKI Jakarta, dan jumlah penghasilan yang sangat tergantung pada niat baik dan kemurahan hati keluarga almarhum/ah.
Tapi fakta bahwa ada sekelompok warga Jakarta yang menggantungkan nafkahnya pada pekuburan, tetaplah fakta yang mengagumkan, karena mencerminkan keliatan warga bangsa ini, untuk menyambung hidup dari kehidupan yang terputus dan berakhir di kuburan.****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H