Kunjungan ke kuburan tidak melulu menyangkut urusan emosional, bersedih atau bersimpati. Tapi bisa juga melebar ke urusan rasional, logika saintifik. Semisal biologi atau ekologi kuburan, arsitektur pertamanan, ekonomi taman pemakaman, dan bahkan sosiologi kuburan.
Sosilogi Pekuburan? Mengapa tidak? Tentu kita tak bicara soal orang-orang mati, sebab jasad-jasad tanpa nyawa tidak berinteraksi satu sama lain selayaknya orang hidup. Yang dibicarakan adalah interaksi intra dan antar dua pihak yang terpusat pada tindakan terkait jasad dalam ajang sosial kuburan, yaitu kerabat almarhum/ah dan pekerja kuburan.
Dengan pekerja kuburan dimaksudkan adalah mereka yang menggantungkan nafkah pada dua kegiatan utama di komplek pemakaman, yaitu menggali dan merawat kuburan.
Tentu ada juga kelompok sosial lain di pekuburan, yaitu kelompok penjaja baik bunga, makanan, dan alat rawat kuburan (a.l. cangkul, parang, dan gunting rumput). Tapi yang paling menonjol keberadaannya adalah kelompok pekerja kuburan.
Untuk memahami sosiologi kuburan ini, saya ambil saja kasus Taman Pemakaman Umum (TPU) Kampung Kandang, Jakarta Selatan. Pekuburan ini terdiri dari dua unit besar, unit Kristen dan Islam, bertetangga. Penciri pekuburan ini antara lain adalah petak makam para korban tak dikenali dari Tragedi Bintaro (tabrakan adu-banteng dua kereta api) tahun 1987 di bagian depan. Lalu di bagian selatan ada petak makam wakaf khusus untuk warga asli Kampung Kandang. Total luas pekuburan ini sekitar 21.6 hektar.
Saat ini terdapat 168 orang pekerja kuburan di Kampung Kandang. Mereka dibagi ke dalam 4 kelompok kerja, 42 orang per kelompok. Uniknya, semua pekerja ini adalah migran dari Karawang. Jadi bahasa sehari-hari di pekuburan Kampung Kandang adalah bahasa Sunda Karawangan. Mereka diajak oleh seorang pekerja kubur senior asal Karawang untuk bekerja di situ, karena warga kampung asli Kampung Kandang "ogah kerja" di kuburan.
Para pekerja kuburan ini umumnya pekerja informal. Hanya sebagian kecil yang berstatus tenaga harian lepas (THL). Atas seijin Dinas Kehutanan, yang mengelola pemakaman, mereka membangun bedeng-bedeng sederhana "siap gusur" di pojok utara wilayah makam. Di situ mereka tinggal bersama keluarganya.
Tinggal bersama keluarga itu merupakan strategi survival. Sebab dengan penghasilan kecil, paling efisien dan efektif tinggal bersama keluarga. Jika dapat rejeki Rp 50,000 misalnya, bisa langsung dinikmati bersama. Jika anak dan isteri tinggal di Karawang, uang Rp 50,000 bisa habis tak tentu rimba. "Istri bisa hemat, suami mah boros," kata Pak Dadang, salah seorang pekerja.
Sumber nafkah utama para pekerja kubur informal itu adalah imbalan buah kemurahan hati kerabat almarhum/ah dari kerja menggali dan merawat kuburan. Untuk kerja gali kubur, sekali sebulan dibuang undi untuk menentukan kelompok kerja yang mendapat giliran pada minggu ke-1, 2, 3 dan 4. Ini untuk keadilan, menghilangkan kemungkinan adanya kelompok yang selalu mendapat minggu "banyak orang mati" (walau ini tidak masuk akal sebenarnya).
Sumber pendapatan pertama mereka adalah kemurahan hati keluarga almarhum/ah, berupa sejumlah "uang lelah" yang dibagi pada semua anggota kelompok yang berpartisipasi sejak dari menggali sampai menutup kembali kuburan. Jadi besar-kecilnya penghasilan tergantung pada jumlah orang yang dimakamkan dalam satu minggu, jumlah anggota kelompok yang berperan serta, dan tingkat kemurahan hati (jumlah uang lelah) dari kerabat almarhum/ah. Menurut pengalaman kisarannya sekitar Rp 100,000 per minggu. Atau sekitar Rp 400,000 per bulan.
Selanjutnya, setelah pemakaman, sumber utama penghasilan mereka adalah uang lelah perawatan makam per makam. Untuk saat ini kesepakatan informalnya adalah Rp 50,000 per bulan. Biasanya dibayarkan per semester (Rp 300,000) atau per tahun (Rp 600,000) sekaligus. Penghasilan per tahun tergantung pada jumlah makam yang dirawat, berdasar kesepakatan dengan keluarga almarhum/ah tentu saja. Pak Dadang misalnya merawat 20 titik makam, berarti per tahun penghasilannya Rp 12.0 juta, atau Rp 1.0 juta per bulan.