Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dua Pengalaman Budaya, Jamuan Batak dan Jawa

10 Agustus 2017   05:22 Diperbarui: 11 Agustus 2017   16:31 2552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana jamuan USDEK di Solo, saya ada di antara tetamu (Dokpri)

Semua umur dan gender sama makan kenyang. Sebab dikontrol dengan pemisahan kelompok lelaki dewasa dan kelompok perempuan serta anaknya. Dengan begitu, perempuan dan anak-anak lepas dari resiko kurang jatah, karena lelaki dewasa umumnya punya daya dan kecepatan lahap yang lebih besar. Pemisahan seperti itu mereduksi persaingan dalam melahap makanan.

Tentu ada satu dua Si Rakus dalam kelompok, tapi biasanya langsung ditegur oleh anggota kelompok makan yang lain.

Nilai kesetaraan dan keadilan juga jelas teranati pada USDEK-nya orang Jawa Solo. Semua tamu duduk di kursi yang sama dengan cara yang sama di satu ruangan, tidak ada VIP ataupun VVIP. Juga makan makanan yang sama komposisinya, sama porsinya, dan sama cara layananannya. Inheren di situ adalah nilai keadilan.

Tapi ada yang kurang tegas muncul dalam USDEK yaitu kebersamaan dalam arti "guyub"-nya orang Jawa. Padahal nilai ini yang menonjol dalam kultur Jawa, sehingga ada pepatah "mangan ora mangan waton ngumpul". Pada jamuan orang Batak nilai guyub ini justru muncul sebagaimana dimanifestasikan makan berkelompok, mengitari sajian makanan, atau "ngariung" (Bah. Sunda). Di situ "tepa selira" dipanggungkan, untuk menjamin keadilan dalam perolehan porsi makan.

Tapi lepas dari soal itu, kehadiran nilai-nilai budaya tadi membuat saya lebih menikmati jamuan orang Batak tempo dulu dan USDEK orang Jawa Solo itu, ketimbang prasmanan orang kota besar. Prasmanan bukan sesuatu yang eksotis seperti dua pengalaman pribadi di atas. Makanannya mungkin enak, tapi hampa nilai budaya, sehingga tak membahagiakan.

Bagaimanapun, sebuah perjamuan semestinya adalah sebuah pemanggungan nilai-nilai budaya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun