Semua umur dan gender sama makan kenyang. Sebab dikontrol dengan pemisahan kelompok lelaki dewasa dan kelompok perempuan serta anaknya. Dengan begitu, perempuan dan anak-anak lepas dari resiko kurang jatah, karena lelaki dewasa umumnya punya daya dan kecepatan lahap yang lebih besar. Pemisahan seperti itu mereduksi persaingan dalam melahap makanan.
Tentu ada satu dua Si Rakus dalam kelompok, tapi biasanya langsung ditegur oleh anggota kelompok makan yang lain.
Nilai kesetaraan dan keadilan juga jelas teranati pada USDEK-nya orang Jawa Solo. Semua tamu duduk di kursi yang sama dengan cara yang sama di satu ruangan, tidak ada VIP ataupun VVIP. Juga makan makanan yang sama komposisinya, sama porsinya, dan sama cara layananannya. Inheren di situ adalah nilai keadilan.
Tapi ada yang kurang tegas muncul dalam USDEK yaitu kebersamaan dalam arti "guyub"-nya orang Jawa. Padahal nilai ini yang menonjol dalam kultur Jawa, sehingga ada pepatah "mangan ora mangan waton ngumpul". Pada jamuan orang Batak nilai guyub ini justru muncul sebagaimana dimanifestasikan makan berkelompok, mengitari sajian makanan, atau "ngariung" (Bah. Sunda). Di situ "tepa selira" dipanggungkan, untuk menjamin keadilan dalam perolehan porsi makan.
Tapi lepas dari soal itu, kehadiran nilai-nilai budaya tadi membuat saya lebih menikmati jamuan orang Batak tempo dulu dan USDEK orang Jawa Solo itu, ketimbang prasmanan orang kota besar. Prasmanan bukan sesuatu yang eksotis seperti dua pengalaman pribadi di atas. Makanannya mungkin enak, tapi hampa nilai budaya, sehingga tak membahagiakan.
Bagaimanapun, sebuah perjamuan semestinya adalah sebuah pemanggungan nilai-nilai budaya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H