Masalah toleransi menjadi isu terpenting pada pidato Barrack Obama, Presiden ke-44 AS, di hadapan peserta Kongres Diaspora, Jakarta pada hari Sabtu, 1 Juli 2017 yang lalu.
Obama menilai penting isu toleransi mengingat adanya gejala peningkatan penolakan pada kelompok minoritas, diskriminasi berdasar agama dan etnis ("Obama: Ayah Tiri Saya Seorang Muslim yang Penuh Toleransi", kompas.com, 1/7/2017).
Obama masuk pada isu toleransi dengan sebuah pernyataan pengalaman pribadi yang menohok dan langsung pada titik soal. Katanya, "Ayah tiri saya, dia Muslim, tapi dia hargai orang Hindu, Buddha, Kristen." Hal itu, serta pengalaman masa kecilnya di Indonesia, Â menginspirasi dia untuk "menghargai perbedaan". Sangat jelas di situ, isunya adalah toleransi antar kelompok agama dan, implisit, suku atau ras.
Isu toleransi antar kelompok agama dan ras/suku itu semakin gamblang saat Obama bilang, "Dan ketika melihat Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha, di tengah negara Muslim, Candi Prambanan yang Hindu dan dilindungi negara Muslim, wayang kulit dan Ramayana di negara Muslim, semangat Indonesia haruslah toleransi. Dan itu juga terlihat dari gereja dan mesjid yang bersebelahan."
Obama menggaris-bawahi, "Bhinneka Tunggal Ika. Unity in Diversity." Itulah semboyan sarat nilai toleransi. Dan menurut Obama, toleransi inilah semangat dan karakter paling penting dari Indonesia yang harus ditiru negara Muslim di seluruh dunia.
Pidato Obama terkait toleransi itu diapresiasi berbagai pihak, karena dinilai sangat relevan dan urgen untuk konteks sosial Indonesia dewasa ini. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta terpilih untuk periode 2019-2022, yang ikut hadir dalam Kongres Diaspora itu, Â termasuk salah seorang yang mengapresiasi.
Tapi, selain mengapresiasi, Anies juga menyampaikan kritik langsung kepada Obama dalan kesempatan bincang singkat. Katanya, sebagaimana diberitakan media on-line, "Bahwa toleransi dan ketimpangan harus ditangani bersama, tidak bisa sendiri-sendiri. Tanpa ada perbaikan pada kesetaraan kesempatan, apalagi melebarnya jurang ketimpangan, akan membuat kedamaian, persatuan jadi jauh lebih sulit tercapai." Kritik ini, menurut Anies, diamini Obama, dan akan diterapkannya di Jakarta untuk mendukung kebhinekaan. ("Cerita Pertemuan Anies dan Obama, Bahas Toleransi hingga Tanda Tangan Buku", kompas.com, 2/7/2017).
Saya ingin menanggapi kritik Anies terhadap pandangan Obama dari dua sisi, yaitu konteks dan logika teoritis. Persetujuan Obama terhadap kritik itu, menurut klaim Anies, tidak saya pertimbangkan dalam hal ini. Sebab menurut pengalaman saya, persetujuan semacam itu tak lebih dari "basa-basi bule" dalam obrolan sepintas. Â Lazimnya, begitu masuk pada diskusi mendalam, barulah akan terbuka ketaksetujuannya.
Pertama, tanggapan terkait konteks isu toleransi. Sangat jelas, Obama membicarakan toleransi dalam konteks keberagaman agama dan etnis/ras, yang menjadi pembentuk utama kebhinekaan Indonesia. Itu jelas terbaca pada pernyataan-pernyataan Obama tentang sikap toleran ayah tirinya dan tentang warisan budaya Budha dan Hindu dan pertetanggaan gereja dan mesjid. Tidak bisa ditafsirkan lain dari itu.
Maka menjadi keluar dari konteks ketika Anies mengajukan tesis "pemerataan ekonomi sebagai prakondisi toleransi sosial". Katanya, kesetaraan kesempatan (ekonomi) akan memudahkan toleransi atau persatuan. Dengan kritik seperti itu, Anies sebenarnya bukan bicara toleransi, melainkan pemerataan ekonomi. Artinya dia memunculkan topik diskusi baru, yang mengamankannya dari diskusi lebih jauh tentang toleransi antar kelompok agama dan suku/ras. Mungkin karena topik ini membuatnya tidak nyaman.
Sangat jelas sebenarnya, saat Obama mengutip semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", dia sedang merujuk pada Pancasila. Jika diperhatikan,  pada  Pancasila itu Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Persatuan Indonesia berada di urutan pertama dan kedua, sedangkan Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ada di urutan kelima. Sangat jelas di situ bahwa perbedaan agama bukan penghalang persatuan (toleransi), dan bahwa kedua Sila itu serta Sila Ketiga dan Keempat menjadi basis untuk pencapaian keadilan sosial (pemerataan ekonomi). Bukan sebaliknya keadilan sosial sebagai basis persatuan.  Sebab jika dibalik seperti itu, maka negara kita tidak akan pernah metdeka menjadi NKRI.