Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanggapi Kritik Anies pada Obama

4 Juli 2017   14:05 Diperbarui: 5 Juli 2017   02:41 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masalah toleransi menjadi isu terpenting pada pidato Barrack Obama, Presiden ke-44 AS, di hadapan peserta Kongres Diaspora, Jakarta pada hari Sabtu, 1 Juli 2017 yang lalu.

Obama menilai penting isu toleransi mengingat adanya gejala peningkatan penolakan pada kelompok minoritas, diskriminasi berdasar agama dan etnis ("Obama: Ayah Tiri Saya Seorang Muslim yang Penuh Toleransi", kompas.com, 1/7/2017).

Obama masuk pada isu toleransi dengan sebuah pernyataan pengalaman pribadi yang menohok dan langsung pada titik soal. Katanya, "Ayah tiri saya, dia Muslim, tapi dia hargai orang Hindu, Buddha, Kristen." Hal itu, serta pengalaman masa kecilnya di Indonesia,  menginspirasi dia untuk "menghargai perbedaan". Sangat jelas di situ, isunya adalah toleransi antar kelompok agama dan, implisit, suku atau ras.

Isu toleransi antar kelompok agama dan ras/suku itu semakin gamblang saat Obama bilang, "Dan ketika melihat Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha, di tengah negara Muslim, Candi Prambanan yang Hindu dan dilindungi negara Muslim, wayang kulit dan Ramayana di negara Muslim, semangat Indonesia haruslah toleransi. Dan itu juga terlihat dari gereja dan mesjid yang bersebelahan."

Obama menggaris-bawahi, "Bhinneka Tunggal Ika. Unity in Diversity." Itulah semboyan sarat nilai toleransi. Dan menurut Obama, toleransi inilah semangat dan karakter paling penting dari Indonesia yang harus ditiru negara Muslim di seluruh dunia.

Pidato Obama terkait toleransi itu diapresiasi berbagai pihak, karena dinilai sangat relevan dan urgen untuk konteks sosial Indonesia dewasa ini. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta terpilih untuk periode 2019-2022, yang ikut hadir dalam Kongres Diaspora itu,  termasuk salah seorang yang mengapresiasi.

Tapi, selain mengapresiasi, Anies juga menyampaikan kritik langsung kepada Obama dalan kesempatan bincang singkat. Katanya, sebagaimana diberitakan media on-line, "Bahwa toleransi dan ketimpangan harus ditangani bersama, tidak bisa sendiri-sendiri. Tanpa ada perbaikan pada kesetaraan kesempatan, apalagi melebarnya jurang ketimpangan, akan membuat kedamaian, persatuan jadi jauh lebih sulit tercapai." Kritik ini, menurut Anies, diamini Obama, dan akan diterapkannya di Jakarta untuk mendukung kebhinekaan. ("Cerita Pertemuan Anies dan Obama, Bahas Toleransi hingga Tanda Tangan Buku", kompas.com, 2/7/2017).

Saya ingin menanggapi kritik Anies terhadap pandangan Obama dari dua sisi, yaitu konteks dan logika teoritis. Persetujuan Obama terhadap kritik itu, menurut klaim Anies, tidak saya pertimbangkan dalam hal ini. Sebab menurut pengalaman saya, persetujuan semacam itu tak lebih dari "basa-basi bule" dalam obrolan sepintas.  Lazimnya, begitu masuk pada diskusi mendalam, barulah akan terbuka ketaksetujuannya.

Pertama, tanggapan terkait konteks isu toleransi. Sangat jelas, Obama membicarakan toleransi dalam konteks keberagaman agama dan etnis/ras, yang menjadi pembentuk utama kebhinekaan Indonesia. Itu jelas terbaca pada pernyataan-pernyataan Obama tentang sikap toleran ayah tirinya dan tentang warisan budaya Budha dan Hindu dan pertetanggaan gereja dan mesjid. Tidak bisa ditafsirkan lain dari itu.

Maka menjadi keluar dari konteks ketika Anies mengajukan tesis "pemerataan ekonomi sebagai prakondisi toleransi sosial". Katanya, kesetaraan kesempatan (ekonomi) akan memudahkan toleransi atau persatuan. Dengan kritik seperti itu, Anies sebenarnya bukan bicara toleransi, melainkan pemerataan ekonomi. Artinya dia memunculkan topik diskusi baru, yang mengamankannya dari diskusi lebih jauh tentang toleransi antar kelompok agama dan suku/ras. Mungkin karena topik ini membuatnya tidak nyaman.

Sangat jelas sebenarnya, saat Obama mengutip semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", dia sedang merujuk pada Pancasila. Jika diperhatikan,  pada  Pancasila itu Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Persatuan Indonesia berada di urutan pertama dan kedua, sedangkan Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ada di urutan kelima. Sangat jelas di situ bahwa perbedaan agama bukan penghalang persatuan (toleransi), dan bahwa kedua Sila itu serta Sila Ketiga dan Keempat menjadi basis untuk pencapaian keadilan sosial (pemerataan ekonomi). Bukan sebaliknya keadilan sosial sebagai basis persatuan.  Sebab jika dibalik seperti itu, maka negara kita tidak akan pernah metdeka menjadi NKRI.

Lagi pula menjadi absurd jika isu pemerataan itu dikaitkan dengan isu agama dan etnis/ras. Sebab itu sama saja dengan mengatakan terjadi ketimpangan ekonomi antar kelompok agama dan etnis/ras di Indonesia atau Jakarta khususnya, dan hal itu menjadi sumber intoleransi yang dapat berujung pada konflik sosial. Ini kesimpulan yang "berbahaya", karena seseorang menjadi miskin atau kaya bukan karena dia beragama atau beretnis/ ras tertentu.

Kedua, tanggapan terkait logika teoritis. Dalam hal ini secara khusus teori sosiologi.  Dalam sosiologi sebenarnya tidak dikenal konsep toleransi, melainkan solidaritas sosial, baik mekanis (karena kesamaan/homogenitas) maupun organis ( karena pembagian kerja/heterogenitas). Toleransi dipahami disitu sebagai bentuk ekspresi solidaritas karena heterogenitas.

Jadi, konsep yang setara adalah solidaritas dan pemerataan. Ini tentu mengingatkan kita trilogi pembangunan masa Orde Baru yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Logikanya di situ, jika ada pertumbuhan maka akan terjadi pemerataan (efek tetesan ke bawah), sehingga akan tercipta stabilitas. Hasilnya, sampai sekarang, ada pertumbuhan, tapi kurang dalam pemerataan, sehingga kerap terjadi instabilitas sosial dalam bentuk protes massal atau bahkan separatisme.

Masalah instabilitas itu mengingatkan saya pada kritik Prof. Sajogyo terhadap trilogi pembangunan. Menurutnya ada satu matra yang kurang, yaitu matra solidaritas (sosial), yang memungkinkan perwujudan pemerataan berdasar pertumbuhan. Intinya, solidaritas sosial memungkinkan surplus pertumbuhan terdistribusi secara adil (merata) pada semua lapisan sosial maayarakat.

Maka solidaritas sosial direkomendasikan menjadi salah satu tujuan pembangunan sosial. Karena dengan terbentuknya solidaritas sosial yang pekat, maka  tujuan pokok pembangunan ekonomi, yaitu pertumbuhan dan pemerataan, memungkinkan untuk dicapai. Jelas di sini, solidaritas sosial, inheren padanya toleransi, adalah prasyarat pemerataan ekonomi. Bukan sebaliknya seperti yang dipersepsikan Anies dalam kritiknya terhadap Obama.

Agaknya, soal solidaritas itu pula yang perlu menjadi perhatian utama Anies-Sandi nanti, saat mereka menggerakkan potensi partisipasi kelas menengah khususnya pengusaha untuk mewujudkan pemerataan pembangunan ekonomi di Jakarta. Entah itu melalui program OKE-OCE, atau program DP Rumah 0%, dan lain-lain. Tanpa terbangunnya solidaritas sosial, khususnya solidaritas organik, mungkin pemukiman kumuh di bantaran sungai, kolong jalan tol kota, dan tanah milik pemerintah akan tetap menjadi pemandangan sehari-hari sampai tahun 2022 di Jakarta.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun