Jadi, para tokoh GNPF itu, setelah koordinasi dengan Rizieg Shihab di "luar negeri", datang bersilaturahmi ke Presiden Jokowi dengan pola pikir "rekonsiliasi". Itu sebabnya mereka mengungkapkan kosepsi "win-win solution". Tidak ada yang dipermalukan, dan agar praktek hukum jangan diskriminatif. Implisit di situ, jangan ada "kriminalisasi ulama GNPF". Ini tentu dimaksudkan berlaku juga bagi Rizieq Shihab.
Jadi "rekonsiliasi" yang dimaksud para tokoh GNPF itu sejatinya agar Pemerintahan Jokowi tidak mengkriminalisasi mereka. Tidak bisa lebih dari itu karena tokoh utama GNPF Bachtiar Nasir sudah menegaskan bahwa umat Islam tidak dalam posisi berhadap-hadapan dengan pemerintah dalam konteks kebhinekaan, Pancasila, dan NKRI. Jika demikian halnya, maka sebenarnya tidak ada konflik politik antara Islam, atau kelompok Islam GNPF, dengan Pemerintahan Jokowi. Jadi tidak ada relevansi "rekonsiliasi politis" di sini.
Maka timbul sebuah pertanyaan kritis. Adakah "silaturahmi" GNPF dan Presiden Jokowi itu bisa ditafsir sebagai sebuah peristiwa "komunikasi politik"? Sangat bisa, kendati kedua pihak tidak tiba pada kesatu-pahaman tentang makna penting "silaturahmi" itu. Satu simbol "silaturahmi" menjadi bermakna ganda, karena dimaknai secara berbeda oleh masing-masing pihak, sesuai "pemosisian" dan kepentingannya.
Memang tidak tercapai "kesamaan pemaknaan" di situ, tetapi tercapai kondisi "tahu sama tahu" alias TST. Presiden Jokowi tahu GNPF memaknai "silaturahmi" itu sebagai "langkah awal rekonsiliasi" (konteks hukum), dan tidak menolaknya. Begitupun GNPF tahu Presiden Jokowi memaknainya sebagai "pernyataan dukungan pada pemerintah", dan tak membantahnya. Jadi, terjadi saling pengertian, dan itulah tujuan "silaturahmi" Idul Fitri itu sebagai sebuah peristiwa "komunikasi".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H