Lebaran, dalam pemahaman saya, berdimensi ganda yakni ilahi dan duniawi, sakral dan profan, iman dan budaya.
Demikian juga Natal, Galungan, Waisak, dan Imlek. Dalam soal ini saya setuju dengan pandangan Pebrianov (kompasiana.com, 22/6/2017). Â Budaya memang ikut memberi warna pada praktek keagamaan.
Gejala itu lazim disebut "agama inkulturasi", merasuknya agama ke dalam budaya penganutnya. Dengan begitu, praktek keagamaan suatu suku bisa berbeda dengan suku lainnya, tapi inti ajaran imannya tetap sama.
Contoh, ritual Paskah pada agama Katolik. Di Larantuka perayaan Paskah diwarnai perarakan patung Bunda Maria  dan Yesus, serta peragaan "Jalan Salib" Yesus. Itu tradisi Larantuka, yang tidak terdapat pada suku-suku lain di Indonesia.
Demikian pula ritual Lebaran pada agama Islam. Antar suku bangsa di Indonesia, ada saja perbedaannya, yang bersumber pada tradisi budaya masing-masing. Di Yogyakarta ada Grebeg Syawal, di Maluku ada tradisi Pukul Sapu, di Kalimantan Barat ada Festival Meriam Karbit, dan di NTB ada tradisi Perang Topat (Perang Ketupat).
Jadi, dalam pemahaman saya, Lebaran seperti halnya Natal, memiliki dimensi-dimensi imaniah dan budaya. Ikhwal dimensi imaniah itu, saya tak hendak sentuh. Saya hanya melihat dimensi budayanya saja.
Dengan membatasi diri pada dimensi budayanya, maka saya bisa menemukan tempat untuk ambil bagian dalam kerepotan dan kegembiraan Lebaran. Tanpa harus terganggu oleh resiko benturan iman. Dalam arti, iman Katolik saya tidak menjadi penghalang untuk ambil bagian dalam kemeriahan Lebaran.
Memberi bingkisan menjelang Lebaran pada sejumlah tetangga adalah contoh keikutsertaan dalam kegembiraan Lebaran. Inilah yang saya sekeluarga lakukan. Bukan karena penghasilan kami berlebih. Tapi semata-mata ingin berbagi gembira dengan beberapa tetangga yang secara obyektif ekonominya tergolong kurang.
Kami tidak memberi dari kelebihan, melainkan dari kekurangan. Karena itu seusai Lebaran tahun lalu, kami berempat anggota keluarga, suami-isteri dan dua anak, mulai melakoni jimpitan untuk membiayai paket bingkisan Lebaran. Untuk melanjutkan "tradisi berbagi bingkisan" yang telah kami awali 7 tahun lalu.
Hasilnya lumayan. Hari Minggu yang lalu, tepat seminggu sebelum Lebaran, kami dapat berbagi kegembiraan Lebaran, dengan membagi bingkisan kepada 10 keluarga tetangga. Â Kami tidak bangga dalam berbagi, tapi bergembira. Gembira karena dapat menyumbangkan sedikit sumber sukacita pada tetangga-tetangga yang baik budi.
Kegembiraan berbagi kegembiraan menyambut Lebaran sebenarnya lebih dari cukup sebagai karunia. Jadi, kalau pada malam Lebaran ada satu atau dua orang dari tetangga itu mengetuk pintu rumah kami mengantarkan penganan ketupat, opor kerbau, sambal goreng pepaya, manisan kolang-kaling, dan tape-uli, maka itulah rahmat berlimpah.
Itulah kegembiraan Lebaran sejatinya bagi kami, dalam dimensi budayanya. Ada berbagi kegembiraan tanpa terhalang ARAS (Agama, Ras, Asosiasi, Suku). (Saya sebut ARAS, bukan SARA). Dengan begitu, Lebaran, seperti halnya Natal, selalu menjadi peristiwa gembira bagi saya sekeluarga.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H