Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menafsir "Pendekatan Budaya" Sandiaga Uno

21 Juni 2017   13:16 Diperbarui: 26 Juni 2017   21:40 1628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: antarafoto.com

"Iya, parkir meter bukan budaya kita, tuh."

Ini pernyataan Sandiaga Uno, Wagub DKI 2017-2022 terpilih, mengomentari "kegagalan" mesin parkir otomatis di RPTRA Kalijodo (KOMPAS.com, 2/5/2017).

Dengan menafsir pernyataan pendek Sandiaga itu, saya hendak menduga bagaimana pendekatan pembangunan yang akan diterapkan pasangan Anies-Sandi di DKI Jakarta nanti.

Tapi, sebelum menafsir jauh, terlebih dulu perlu dicatat pernyataan "parkir meter bukan budaya kita" bukan argumen yang relevan untuk menolak teknologi itu.

Mobil pada awalnya juga bukan budaya kita, kalau bicara tentang budaya materiil (trait complex). Kolonialis, imperialis, dan kemudian kapitalislah dulu yang memperkenalkan teknologi transportasi mobil itu ke masyarakat kita. Lalu elit penguasa dan elit pengusaha menerima teknologi itu, untuk alasan efisiensi mobilitas, selain juga simbol status.

Sekarang, mobil sudah menjadi salah satu khasanah budaya materil kita. Sungguhpun, nilai yang melekat pada teknologi itu, yakni efisiensi dan kemandirian, tidak serta merta mendarah daging dalam diri kita sebagai khasanah budaya immateril.

Buktinya, masih banyak orang di Jakarta memilih naik mobil selama 2 jam, untuk jarak yang bisa dicapai 30 menit naik bus Transjakarta. Tidak efisien, bukan?

Lalu, masih banyak pengendara mobil yang senang dilayani juru parkir saat parkir, atau dilayani petugas SPBU saat mengisi bahan bakar. Ada sikap feodalistik yang dipanggungkan di situ. Sikap yang emoh pada kemandirian berbuat.

Jadi, soal "mesin parkir" itu bukan soal "bukan budaya kita". Tapi soal mentalitas "tuan pemalas", yang punya uang sebagai basis untuk "memperhamba" orang lain.

Pada titik ini, sudah mulai terbaca, bahwa Sandiaga tampaknya menolak pembangunan yang memandirikan. Tentu, kalau kita sepakat, bahwa mesin parkir itu teknologi yang membangun kemandirian, selain juga kejujuran.

Tapi yang lebih menarik lagi, penyataan Sandiaga itu diproduksi sebenarnya bukan sebagai evaluasi pada sistem perparkiran berbasis "mesin parkir". Tapi, secara tidak langsung, sebagai "rekomendasi" pada sistem perparkiran online dengan aplikasi "jukir". Katanya aplikasi ini sudah diterapkan di Tangerang dan Bekasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun