Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menafsir "Pendekatan Budaya" Sandiaga Uno

21 Juni 2017   13:16 Diperbarui: 26 Juni 2017   21:40 1628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: antarafoto.com

Apakah aplikasi "jukir" atau bayar parkir online budaya kita? Tentu saja bukan. Tapi, bersamaan dengan diterimanya budaya internet atau daring, maka aplikasi "jukir" sedang dipromosikan sebagai budaya baru.

Jadi, pokok soalnya di sini adalah pilihan di antara dua budaya materiil, mesin parkir atau aplikasi jukir (parkir online)? Mana yang lebih efisen dan efektif? Belum ada analisis perbandingan keduanya di sini. Tapi pengelola aplikasi jukir sudah promosi aplikasinya anti-bocor, alias efisien dan efektif. Dan dengan pernyataan "mesin parkir bukan budaya kita", Sandiaga telah "menyatakan persetujuan"-nya.

Pernyataan Sandiaga itu bisa ditafsir bahwa dia akan menerapkan pendekatan "budaya" dalam pembangunan DKI Jakarta. Bagus. Tapi sisi kritisnya adalah penggunaan frasa "bukan budaya kita", dan otomatis juga frasa "budaya kita" sebagai lawannya.

Pertanyaannya di sini, siapa yang berwewenang menentukan, dan bagaimana akan ditentukan, bahwa sesuatu unsur budaya itu tergolong "budaya kita" atau "bukan budaya kita".

Lebih kritis lagi, siapa yang dimaksud dengan "kita" di situ? Apakah "kita yang majemuk" atau "kita yang mayoritas"? Yang terakhir ini sangat berisiko menimbulkan "tirani mayoritas" dalam proses pembangunan. Minoritas akan tertekan atau tersingkir.

Juga, apakah "kita" itu merujuk "kelompok sosial pendukung Anies-Sandi"? Ini bisa menjadi kontra-produktif. Sebab jika "kita" dalam pengertian ini adalah "warga bantaran kali", maka bisa jadi nanti disimpulkan "pola mukim bantaran kali" adalah kekayaan budaya kita di Jakarta. Maka berbahagialah warga penghuni bantaran kali yang mendukung Anies-Sandi. Juga warga penghuni kolong tol dan penyerobot tanah Pemda.

Lebih riskan lagi jika "kita" itu merujuk pada kelompok agamis minoritas garis keras pendukung Anies-Sandi. Jika suatu saat mereka bilang "night club bukan budaya kita", dan karena itu harus dihapuskan dari muka Jakarta, maka demikianlah yang mungkin akan terjadi. Itu namanya "tirani minoritas", sering disertai pemaksaan melalui unjuk rasa massal.

Saya sejatinya apresiatif terhadap pendekatan budaya dalam pembangunan. Karena pendekatan ini manusiawi, disamping juga holistik, ketimbang pendekatan ekonomi yang pragmatis. Pendekatan budaya semacam itu akan mendorong perkembangan masyarakat atau bangsa yang berkarakter kuat dan unik. Tidak menjadi pengekor Barat, misalnya.

Tapi itu jika kebudayaan dimengerti sebagai sistem pemaknaan yang sifatnya subyektif, sehingga realitas kemajemukan masyarakat mendapatkan perlakuan yang setara dalam prises pembangunan. Di sini tidak ada frasa "budaya kita" yang kooptatif terhadap kemajemukan budaya, sekaligus juga anti-budaya luar-kita. Artinya anti-pembaruan yang bersumber dari "luar masyarakat kita", apapun definisi "kita" di sini.

Saya tidak punya cukup fakta untuk menyimpulkan pendekatan budaya yang akan dibawakan Sandiaga bukan yang bersifat manusiawi dan holistik itu. Frasa "bukan budaya kita" dari Sandiaga mengindikasikan dia akan menggunakan pendekatan budaya yang menempatkan budaya sebagai instrumen semata.

Dengan pendekatan instrumental maka budaya hanya difungsikan sebagai justifikasi untuk menjalankan atau menolak kegiatan pembangunan tertentu. Tolak jika "bukan budaya kita" , terima jika "budaya kita". Jika demikian, maka budaya telah ditempatkan sebagai gejala statis, bukan sesuatu yang dinamis dan berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun