Lagu andung “Huandung ma Damang” itu berkisah tentang ratapan seorang anak yang gagal dalam hidupnya, atas kematian Amangnya (ayah) yang tak kunjung bisa dibahagiakannya.
Menyimak syairnya yang begitu indah, tak terbaca nada kecengengan di situ. Juga jika mendengarkan langsung lagu itu dinyanyikan kelompok “Trio Golden Heart”, grup penyanyi Batak legendaris yang mempopulerkan lagu itu tahun 1970-an, tak terdengar nada cengeng sama sekali.
Menurut saya, Trio Golden Heart-lah penginterpretasi terbaik untuk lagu itu. Mengisahkan kisah pilu tanpa nada cengeng. Sebaliknya justru indah.
Tidak seperti penyanyi Batak generasi masa kini, yang menyanyikan lagu itu dengan bumbu isak tangis, helaan nafas berat, lesapan ingus, dan lain improvisasi yang pada pokoknya “lebaayy…”. Esensi malah lenyap oleh ekspresi sensasi.
“Andung” sejatinya adalah salah satu bentuk kekayaan seni tradisi budaya Batak. Aslinya andung itu bersifat personal. Ditembangkan dalam kesendirian, untuk diri sendiri, sebagai katarsis dari tekanan berat kehidupan. Esensinya adalah ungkapan rasa sakit, derita, pilu, dan sejenisnya, lazimnya karena tekanan kemiskinan atau kemalangan dalam hidup.
Orang Batak tempo dulu memang sudah bergulat dengan masalah kemiskinan. Sumberdaya alam yang terbatas menjadi sebab. Dominasi lahan kering yang tandus tidak memberi rejeki yang memadai untuk orang Batak, dengan segala keterbatasan teknologi. Maka kemiskinan menjadi keseharian untuk banyak orang Batak.
Kemiskinan mendorong orang Batak merantau. Ke Sumatera Timur atau Jawa dan daerah lain. Tapi merantau tak pernah mudah. Kemiskinan tidak serta merta lekang. Maka penderitaan selalu mengikuti setiap helaan nafas.
Di bawah tekanan berat kehidupan, maka andung menjadi sarana katarsis terbaik. Untuk penguatan diri, menghadapi kenyataan besok hari, yang sudah untung bila bisa sama dengan hari ini.
Maka andung, atau “mangandung”, sebenarnya adalah ekspresi jujur orang Batak tentang derita hidupnya. Lazimnya tanpa isak tangis, tanpa luberan air mata. Mungkin mata basah, tapi bukan karena sedu-sedan.
Kerap juga seseorang, lazimnya perempuan tua, memanggungkan “andung”nya dakam kesempatan melayat orang meninggal. Biasanya, kalau orang yang pandai andung sudah “mangandung”, para pelayat akan menyimak dan menikmatinya. Tidak semua orang bisa “mangandung”, mengingat irama, kosa kata, dan idiomnya yang spesifik. Orang yang cuma bisa “mangangguk bobar” (nangis bombay) biasanya akan disuruh diam.
Tradisi andung itulah yang kemudian diangkat ke khasanah lagu Batak populer. Sayangnya, dalam perkembangannya, esensi andung itu malah cenderung memudar ketika diekspresikan dalam bentuk lagu populer. Yang menonjol justru sensasi sedu-sedan yang didramatisir, memenuhi selera pasar. Akibatnya malah terkesan cengeng.