Hei hei … hei hei … hei hei hei…”
Terus terang, tidak mudah bagi saya menerjemahkan lagu ini ke Bahasa Indonesia. Sebab dia memuat sejumlah idiom dan kosa kata Batak tua, kosa kata khusus “andung”, yang tidak saya kuasai.
Tapi, bermodal penguasaan bahasa Batak yang pas-pasan, ditambah sedikit rasa bahasa, saya artikan syair lagu itu kira-kira begini:
“Tangisku untuk Amang, Amang yang pandai menyimpan marah, Amang yang kini jatuh terkapar, Amang raja kami.
Harimau di kampung, beruang di sawah. Tampak nyata di peristirahatan, seperti kuda si belang.
Akan bagaimanakah tangisku untuk Amang, Amang yang kucinta. Engkau yang berhati pemaaf, pencerita tiada tara. Bila ku kenang, sikapmu yang menenangkan hati, Amang yang kucinta, tiada artilah aku serpih sekam ini.
Hei hei … hei hei … hei hei hei ...
Aku tersangkut bukan karena tinggi Amang, sesak bukan karena besar. Andai tersebab oleh tinggiku, dapatlah aku merunduk. Andai tersebab oleh besarku Amang, dapatlah aku menyamping. Aku telah tumbuh oleh derita, besar oleh kepedihan.
Hei hei … hei hei …hei hei hei …
Andai tegalah hatiku Amang, menghunus pisau belati. Atau menarik seutas tali Amang, terjun ke dasar danau. Agar ada jalan Amang, menuju bunuh diriku. Agar ada jalan Amang, menuju akhir ajalku.
Hei hei … hei hei … hei hei hei…”