Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak Jokowi dan Pak Esbeye, "Marketer" dan "Musketer"?

26 November 2016   15:06 Diperbarui: 26 November 2016   15:28 1845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pak Jokowi adalah “marketer”, sedangkan Pak Esbeye (SBY) “musketer”.   Tipologi ini tak usah dihubungkan dengan latar belakang mereka. Pak Jokowi pengusaha mebel, Pak Esbeye serdadu negara. Kendati latar profesi itu pasti punya andil dalam pembentukan karakter masing-masing, “marketer” dan “musketer” (musketeer). Itu persesuaian yang “kebetulan” saja.

Tipologi itu merujuk dikotomi tindakan sosial  bikinan Pak Jurgen Habermas, “komunikasi” dan “kerja”.  Komunikasi adalah interaksi antar subyek dan subyek.  Suatu inter-subyektivitas yang bersifat dua arah untuk  mencapai konsensus atau kesepahaman.

Sedangkan kerja adalah tindakan searah dari subyek pada obyek, untuk mencapai suatu keberhasilan. Sifatnya egosentris, dan manipulatif (menipu), sadar atau tidak. Kerja disebut juga sebagai tindakan strategis.

Cukup sampai di situ teori Pak Habermas, agar tak keburu puyeng. Lagian ini bukan soal Pak Habermas, tapi soal Pak Jokowi dan Pak Esbeye. 

Wis, lanjut! Individu dengan dominasi tindakan komunikatif dalam aksi sosialnya saya sebut tipe “marketer”. Karena “marketer” adalah subyek yang memperlakukan pembeli sebagai sesama subyek dan berupaya mencapai kesepahaman dengannya hingga tercapai konsensus “transaksi”. Sifatnya “win-win”. Inilah tipe Pak Jokowi.

Lalu, individu dengan dominasi tindakan kerja dalam aksi sosialnya saya sebut tipe “musketer”. Sebab “musketer” adalah subyek yang memperlakukan pihak lain sebagai “obyek” yang harus ditaklukkan.  Tak ada konsensus yang bersifat “win-win” di situ, melainkan “win-lose”, menang atau kalah. Itulah tipe Pak Esbeye.

Itu teorinya. Mana bukti empirisnya? Baiklah, kita coba terapkan pada kasus aktual, peristiwa Demo 411 tempo hari.

Pak Jokowi  dulu.  Sebelum dan sesudah Demo 411, aksi sosialnya didominasi  tindakan komunikatif. Beliau sibuk bertemu, sebagian sambil makan siang, atau berkuda,  dengan sejumlah tokoh nasional. Intensinya untuk mencapai kesepahaman dengan berbagai pihak, yang diperlakukan sebagai subyek,  bahwa Demo 411 sebenarnya tak perlu. Tapi silahkan saja tetap berdemo, asal tidak ditunggangi oleh kepentingan politis, untuk merusak stabilitas politik dan menjatuhkan pemerintah yang sah.

Pak Jokowi bermaksud membangun konsensus atau kesepahaman bahwa  kepentingan nasional, yaitu keutuhan NKRI, harus diutamakan di atas segala kepentingan lain, apalagi kepentingan pribadi atau golongan. Sampai taraf tertentu, kesepahaman tampaknya tercapai. Perhatikan fakta Demo 411 antiklimaks, dan Demo/Rush Money 2511 tak terjadi. Gaung Demo 212 juga mulai menyempit ke lingkar dalam FPI.

Lalu Pak Esbeye. Aksi sosialnya sebelum dan sesudah Demo 411 dominan tindakan kerja yang manipulatif. Mendadak beliau mengadakan konpers mempertanyakan ujaran Pak Jokowi tentang penunggang politis Demo 411. Dengan pertanyaan itu beliau implisit menempatkan diri sebagai “korban yang terzalimi”, dan implisit menempatkan Pak Jokowi sebagai penzalim yang seolah menuduhnya “penunggang Demo 411”.

Sekaligus Pak Esbeye juga mendesak agar Ahok segera diproses secara hukum, agar demo gak terjadi terus sampai “lebaran kuda” (istilah Pak Esbeye). Dengan desakan itu, implisit beliau mendukung (baca: menunggang) Demo 411, atau mrmperlskukan pendemo sebagai obyek, untuk mencapai kepentingan pribadi/kelompok yang sifatnya strategis. Paling rasional, ya, untuk mendongkrak elektabilitas anaknya, Cagub DKI Agus H.Y. Dan benar saja, pasca-Demo 411 elektabilitas Agus H.Y. langsung melejit mengungguli Ahok dan Anies. Setidaknya begitu menurut survei yang kadang bohong pake statistik dan macem-macem itu.

Perhatikan beda Pak Jokowi dan Pak Esbeye dalam merespon Demo 411. Pak Jokowi memperlakukan pihak-pihak terkait demo sebagai subyek, sementara Pak Esbeye memperlakukan sebagai obyek. Pak Jokowi memikirkan kepentingan nasional, Pak Esbeye memikirkan kepentingan pribadi.

Secara khusus perhatikan bahwa Pak Jokowi mau bertemu dengan pihak lain dalam pola hubungan “subyek-subyek”, khas “marketer”. Sedangkan Pak Esbeye mau bertemu dengan pihak lain dalam pola hubungan “subyek-obyek”, khas “musketer”. 

Jadi masih berpikir Pak Jokowi bisa “bertemu” dengan Pak Esbeye? Mungkinkah “marketer” ketemu dengan “musketer”? Rasanya gak mungkin deh, kecuali bila “lebaran kuda” (SBY, 2016) tiba. Mungkin, lho!(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun