Hal serupa juga lazim dilakukan orang tua terhadap anaknya yang sakit. Tapi dalam skala kecil, cukup seekor dimasak “tombur”, menu ikan bakar khas Batak (bumbu andaliman, kemiri bakar, cabai, garam, bawang merah dan putih, kecombrang, jeruk nipis). Mungkin karena terdampak kenikmatan tiada tara, khususnya bumbu rempahnya, setelah makan sajian istimewa itu, anak yang sakit biasanya langsung sembuh. Waktu kecil dulu, saya pernah beberapa kali mengalaminya, saat sakit demam.
Boleh disimpulkan, “ikan Batak” itu adalah “ikan adat”, dalam arti memiliki fungsi sebagai “syarat” dalam praktek kehidupan adat Batak. Itu sebabnya permintaan “ihan” sangat tinggi dan harganya juga membubung tinggi. Hal ini merangsang warga memburu ikan ini dengan cara-cara anti-pelestarian, antara lain meracun (sungai) dan menyetrum. Dua cara ini membunuh juga anakan ikan Batak yang belum laik konsumsi. “Ihan” laik konsumsi lazimnya minimal seukuran panjang telapak tangan orang dewasa.
Karena populasi “ihan” semakin langka, bahkan rawan punah (vulnerable), maka fungsinya kemudian digantikan dengan ikan jurung-jurung (Tor sp.). Belakangan populasi jurung-jurung juga menipis di Danau Toba dan sungai-sungainya. Sehingga fungsi “ikan adat” sekarang beralih ke ikan mas, khususnya yang berwarna merah.
Orang Batak kini kerap mengeluhkan kelangkaan “ihan”. Tapi meratapi kelangkaan ikan Batak sudah pasti tak akan memulihkan populasinya. Masyarakat-masyarakat hukum adat Batak, khususnya yang tinggal di sekitar Daerah Aliran Sungai dan pantai Danau Toba, perlu segera duduk untuk merumuskan dan menjalankan solusi adat atas masalah itu. Tak perlu menunggu program pemerintah.
Dua langkah pelestarian dapat disarankan di sini untuk dipertimbangkan. Pertama, menetapkan “ihan” atau ikan Batak (Neolissochilus thienemanni) sebagai “Ikan Adat Batak” yang harus dikelola pelestariannya menurut hukum adat. Kedua, menetapkan aturan-aturan adat setempat terkait pelestarian populasi ikan Batak, menyangkut antara lain cara-cara penangkapan (teknik, waktu, lokasi, dan ukuran laik tangkap), pemeliharaan kebersihan perairan habitat “ihan”, dan sanksi-sanksi adat atas pelanggaran aturan-aturan itu.
Memang bukan langkah-langkah pelestarian yang mudah, tapi tak mustahil. Lagi pula orang Batak harus bersikap adil, dalam arti pemanenan ikan Batak dari alam harus diimbangi dengan upaya-upaya menjaga kelestariannya. Tambahan, kalau berhasil, upaya pelestarian itu akan tercatat sebagai sumbangan besar orang Batak kepada dunia.(*)
Rujukan:
Froese, R. and D. Pauly. Editors. 2016. Neolissochilus theinemanni. FishBase. World Wide Web electronic publication.www.fishbase.org (06/2016)
World Conservation Monitoring Centre. 1996. Neolissochilus theinemanni. The IUCN Red List of Threatened Species 1996: e.T14530A4442867.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H