Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang Batak dengan Babinya

2 Oktober 2016   22:53 Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:33 4239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa saja artikel ini saya juduli “Fungsi Ternak Babi dalam Masyarakat Batak Toba”. Tapi apa menariknya judul kaku a’la skripsi macam itu. Walau isi artikel ini memang seperti itu.

Ya, babi memang hewan yang punya fungsi sentral dalam kehidupan orang Batak (Toba). Ekonomi, sosial, dan kuliner orang Batak tak bisa dipisahkan dari ternak bulat pendek penguik itu.

Mari kita lihat satu per satu. Sekadar berbagi informasi saja.

Anak Batak "Disekolahkan" Babi

Pernah dengar anekdot ini? “Suatu senja, sepulang dari pesta adat, Nai Poltak bertanya pada Poltak, ‘Sudah kau beri makan babi kita, Poltak?’ ‘Belum, Inang,’ jawab Poltak. ‘Perutmu saja yang kau urus! Babi ini lebih penting! Tak bisa sekolah kau kalau dia mati!’ Nai Poltak langsung meradang, sambil menyiapkan makan malam untuk babinya.”

Anekdot itu menunjukkan fungsi ekonomi ternak babi dalam masyarakat Batak. Babi merupakan “tabungan hidup”. Dapat diuangkan dengan cepat untuk keperluan pembiayaan yang cukup besar. 

Paling lazim babi dijual untuk biaya sekolah anak. Misalnya membiayai anak sekolah atau kuliah ke kota Siantar, Medan, dan Jawa. Itu sebabnya ada ungkapan “Anak Batak ‘disekolahkan’ babi.”

Usaha ternak babi dalam masyarakat Batak merupakan domein perempuan. Seperti pada masyarakat Papua, babi adalah peliharaan kaum ibu. Mulai dari pembelian anakan, pembesaran, sampai penjualan, semua tanggungjawab kaum ibu.

Ada tiga cara pemeliharaan babi di tanah Batak:  diliarkan, dikandangkan, dan ditambatkan. Cara meliarkan sudah dilarang pemerintah. Karena tidak sesuai kaidah kesehatan dan keindahan lingkungan. Cara ini digantikan pengandangan tetap di kolong atau di belakang rumah.

Cara penambatan lazim untuk pemeliharaan 1-2 ekor babi. Babi yang dipelihara adalah jantan yang dikastrasi agar cepat tambun. Pagi ditambatkan, sore dikandangkan.

Menjual babi sangat gampang. Tinggal beri tahu “tauke babi” setempat maka babi segera dijemput ke rumah. Dan langsung dibayar tunai, sesuai timbangan.

Ternak Adat yang Tak Beradat

“Karena babi bisa kawin dengan ibunya, bapaknya, atau saudaranya sendiri,” jawab pamannya ketika Poltak bertanya, “Mengapa orang yang tak beradat disebut seperti babi?” 

Orang Batak tahu babi itu sungguh tak tahu adat. Kelakuannya tak beradat. Yah, namanya juga babi.

Tapi bagi orang Batak, babi adalah “ternak adat” terpenting.  Saya sedang bicara fungsi sosial ternak babi. Tidak ada peristiwa upacara adat tanpa peran “korban” babi di dalamnya.  Bukan semata untuk lauk-pauk pesta, tapi untuk keperluan penegasan posisi sosial melalui pembagian “jambar juhut” (upah lauk daging).

“Jambar juhut” adalah bagian-bagian tertentu dari tubuh babi yang diberikan tuan rumah pesta adat kepada kerabatnya yaitu “hula-hula” (pihak pemberi isteri), “boru” (pihak penerima isteri), dan “dongan tubu” (kerabat semarga). 

Rumus umum “jambar juhut” itu sebagai berikut: kepala atas (“namarngingi”) untuk “hula-hula”;  rahang bawah (“isang”) untuk “boru”; rusuk/iga (“somba-somba”) untuk hula-hula; dan paha (“soit”) untuk “dongan tubu”. Tidak boleh salah, karena menyangkut pengakuan dan penghormatan pada posisi sosial.

“Jambar juhut” itu pada prinsipnya adalah pemanggungan struktur sosial “Dalihan na Tolu” (Tiga Batu Tungku” dalam masyarakat Batak yaitu “hula-hula”, “boru”, dan “ dongan tubu”. Dengan melihat alokasi “jambar juhut” dalam acara adat Batak, kita segera tahu siapa tuan rumah (“hasuhuton”), serta siapa “hula-hula”, “boru”, dan “dongan tubu”-nya. 

Kuliner Khas Batak

Bukan Batak (Toba, Kristen) kalau tak pernah makan “sangsang” (cincang) babi. Itu jenis lauk olahan daging babi yang paling lazim dan terkenal di pesta-pesta adat orang Batak.

Kekhasan “sangsang”, dibanding cincang (sapi) Padang misalnya, ialah dimasak dengan mencampurkan darah matang (saren), yang memberi rasa gurih. Tanpa pencampuran darah maka bukan “sangsang” namanya.

Selain “sangsang”, ada dua jenis lauk olahan daging babi yang khas Batak juga yaitu “tanggo-tanggo” (semacam gulai) dan “lomok-lomok” (semacam gajebo). Jenis masakan ini biadanya disajikan dalam pesta adat keluarga skala kecil.

Pada pesta adat besar, “sangsang” disiapkan dan dimasak dalam jumlah besar. Orang-orang yang menyiapkan masakan ini disebut “parhobas” (pelayan), yaitu pihak “boru” dari tuan rumah pesta.

Demikian sekilas fungsi ternak babi dalam masyarakat Batak. Saya perlukan menulis soal ini karena ilhwal fungsi babi ini juga dapat dikembangkan sebagai potensi wisata. 

Sistem “jambar juhut” dapat dipanggungkan sebagai wisata budaya, dengan melibatkan wisatawan di dalamnya. Ini benar-benar khas budaya Batak.

Tapi kalau itu dinilai sukar, sekurang-kurangnya bisa digarap sebagai  potensi wisata kuliner asli Batak. Tentu untuk wisatawan yang tak mengharamkan konsumsi daging babi karena larangan agama atau budayanya.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun