Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Orang Batak dan Budaya Lembahnya

25 September 2016   15:58 Diperbarui: 25 September 2016   20:46 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah dengar orang gunung berdiam di pantai? Salah satunya pasti orang Batak. Maksud saya, orang Batak yang tinggal di desa-desa pantai-luar dan pantai-dalam (Samosir) Danau Toba. Mereka adalah komunitas-komunitas berekologi-budaya lembah. Dan itu berarti ekologi budaya sawah. Dengan kata lain, jika merujuk tipologi C. Geertz, komunitas Batak lembah itu adalah pencilan “Indonesia Dalam” (ekologi budaya sawah, tipologi Jawa) di “Indonesia Luar” (ekologi budaya ladang, tipologi Luar Jawa).

Sejarahnya memang begitu. Legenda mengatakan komunitas Batak pertama tumbuh di Lembah Sianjurmulamula, di kaki Gunung Pusukbuhit, sebelah barat Kota Pangururan, Samosir. Jika kita menuruni jalan berkelok pusing dari Tele, desa ini terlihat indah dari atas, dikitari areal persawahan. Dari dulu memang begitu. Dan itulah model komunitas kampung Batak yang tersebar di lingkar pantai-luar Danau Toba.

Sebutlah kota-kota dan desa-desa ini. Di pantai-luar timur: ada Haranggaol di utara, lalu Tigaras dan Sibaganding di selatannya,  terus ke Parapat, Ajibata, Sigapiton, Sirungkungon,  Jongginihuta, Porsea, Sigumpar, Laguboti, sampai Balige di titik selatan. Lalu bergerak ke utara sepanjang pantai-luar barat: ada Tarabunga, Muara, Baktiraja, Harian, Sianjurmulamula, Silalahi, sampai Tongging di titik utara. Di sekeliling pantai-dalam Samosir ada Pangururan, Palipi, Nainggolan, Onanrunggu, Tomok, Ambarita, sampai Simanindo. 

Semua itu adalah komunitas lembah, komunitas petani sawah. Sebagian memang sudah menjadi kota. Seperti Parapat, Ajibata, Porsea, Laguboti, Balige, dan Pangururan. Tapi ekologi budayanya masih tetap sawah. Sebagian warga kota bahkan masih tetap bersawah.

Orang Batak Toba, sejak lama, tergolong petani sawah terbaik di wilayah Sumatera Utara. Karena itu tahun 1910-an Pemerintah Kolonial Belanda memfasilitasi migrasi orang Batak Toba ke Sumatera Timur untuk membuka persawahan. Tujuannya untuk produksi beras bagi buruh perkebunan, sebagai antisipasi kesulitan impor beras dari Indocina akibat Perang Dunia I.

Budaya lembah orang Batak itu adalah sebuah keindahan. Saya coba gambarkan dengan contoh Desa Sigapiton, Toba Samosir. Desa ini berada di sebuah lembah di pantai-luar timur. Akses utama ke sana adalah jalur angkutan danau, naik kapal dari dan ke Parapat/Ajibata dan desa-desa lain di pantai. Tapi dapat juga dijangkau lewat darat dari Desa Sibisa di sebelah timur. Jalur darat itu pernah saya tempuh akhir 1970-an, sendirian berjalan kaki, lewat jalan setapak yang menembus semak belukar, hutan sekunder, dan hutan primer. 

Lelah? Sudah pasti.

Tapi begitu tiba di bibir jurang, rasa lelah langsung sirna. Jauh di bawah sana terlihat Desa Sigapiton dikitari hamparan sawah hijau bertingkat. Di kejauhan barat terbentang perairan Danau Toba merefleksikan langit biru di atasnya. Di kiri dan kanan desa berdiri tebing berkemiringan 45-80 derajat, mengapit desa seperti dua dinding tembok pelindung. Itu sebabnya desa ini disebut Sigapiton (yang dijepit). Hebatnya, tebing itu diolah penduduk untuk budi daya bawang. Petani setempat, laki-laki dan perempuan, naik ke ladang bawangnya seperti panjat tebing.

Saya sendiri harus menuruni tebing dengan kecuraman serupa selama kurang lebih 30 menit, lewat jalan setapak berkelok-kelok, sebelum tiba di desa di bawah sana. Waktu perjalanan pulang, saya memerlukan waktu sekitar 45 menit.

Ketika turun melakui jalan setapak itu, di sebelah kanan, di tengah hutan saya mendengar debur kecil air terjun. Dalam perjalanan pulang, saya sempatkan mencari air terjun itu. Ketemu. Tidak terlalu besar, setinggi kurang lebih 10 meter. Ketika berbalik ke belakang, sekali lagi saya terpukau oleh hamparan air danau. Sungguh eksotis.  

Pengalaman eksotis seperti di Sigapiton itu selalu didapatkan setiap kali berkunjung ke komunitas lembah seanjang garis pantai Danau Toba. Pengalaman serupa misalnya saya alami kemudian, pada pertengahan 1990-an, saat mengunjungi Tongging, Silalahi, Harian, Sianjurmulamula, dan Muara. Semuanya desa-desa lembah yang indah. Desa-desa berekologi budaya sawah.

Mengapa saya perlukan menulis soal ekologi budaya lembah orang Batak?

Ada kaitannya dengan rencana besar pembangunan kawasan wisata kelas dunia Danau Toba. Sebuah  pertanyaan besar menunggu jawaban:  Bagaimana ekologi budaya lembah atau persawahan itu akan diintegrasikan pada ekosistem wisata Danau Toba? Kekhawatiran saya, jangan sampai ekologi budaya lembah/sawah itu dihancurkan oleh kapitalisme pariwisata. Karena dianggap misalnya tak sejalan dengan modernisasi. Penting dicatat, budaya tradisional tidak selalu berarti anti-modernisasi. 

Penting dipikirkan bersama orang Batak lembah bagaimana cara terbaik mengembangkan agrowisata khas lembah di desa mereka, sebagai bagian dari kawasan wisata Danau Toba. Bukan semata-mata segi alam fisiknya, tetapi juga struktur sosial dan nilai budayanya. Ekologi budaya sawah lembah itu sejatinya disokong oleh struktur sosial dan nilai-nilai budaya Batak yang khas. 

Sebagai contoh, sistem persawahan Batak Toba itu didukung dengan teknologi “tali air” dan organisasi pengairan (“Raja Bondar”) yang khas. Selain itu juga didukung oleh sejumlah ritus adat, semisal penghormatan pada roh pemelihara sumber air dan pesta panen (“gondang”).

Struktur dan nilai-nilai budaya semacam itulah yang perlu  direvitalisasi, untuk memulihkan ekologi budaya lembah orang Batak sejati. Niscaya hal itu akan menjadi nilai unggul yang khas pada wisata Danau Toba.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun