Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisatawan dan Dilema Batak, "Raja" atau "Pelayan"?

17 September 2016   19:27 Diperbarui: 18 September 2016   05:58 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika diterapkan pada sesama Batak, maka tak ada soal dengan status ganda itu. Jika bukan “dongan tubu” (semarga, serumpun marga), maka dengan cara melacak “tarombo” (tambo), setiap orang Batak dengan tepat dapat menetapkan statusnya terhadap orang lain, “hula-hula” (raja) atau “boru” (pelayan).

Dilema timbul saat diterapkan pada wisatawan. Dalam konteks struktur sosial  “huta”, wisatawan adalah orang luar. Karena itu masuk bilangan “marga penumpang” atau “boru”. Sedangkan orang Batak adalah “Raja Huta”, “marga raja” alias “suhut” atau tuan rumah.

Masalahnya, dalam teori dan praktek turisme, wisatawan adalah “raja yang harus dilayani”. Jadi, bagaimana mungkin orang Batak yang mengklaim diri sebagai “raja huta” (“hula-hula”) justru harus melayani wisatawan yang dipersepsikan sebagai “marga penumpang” (“boru”). Apa kata dunia?

Apakah orang Batak bisa memposisikan diri sebagai “boru” yang melayani wisatawan yang diposisikan sebagai “raja”. Ini sulit. Sebab bagi orang Batak, pendatang tidak berhak menjadi “raja”. Jadi itu pikiran teoritis yang rada muskil dipraktekkan.

Dilema status ini, bagaimanapun juga, sudah harus terpecahkan sebelum pengembangan kawasan wisata kelas dunia Danau Toba dimulai. Jika tidak, maka orang Batak tak akan pernah siap sebagai “Tuan Rumah” yang lapang hati.

Dan hal itu sebenarnya bukan dilema yang terlalu pelik. Saya sudah pernah sampaikan, berhadapan dengan wisatawan, status yang tepat untuk orang Batak adalah “hula-hula”, Raja Huta atau “Suhut”, Tuan Rumah. Dalam hal ini Tuan Rumah yang cerdas membujuk “boru” agar ikhlas memberikan kekayaan materilnya kepada “hula-hula”.

Wisatawan jelas harus diposisikan sebagai “boru” yang membawa banyak harta materil. Karena itu orang Batak sebagai Tuan Rumah, “hula-hula”, harus pintar merayu agar “boru” bersedia membagikan kekayaannya.

Dalam konteks itu, orang Batak sebagai Tuan Rumah harus menerapkan filosofi “Parbahul-bahul Na Bolon”. Arti harafiahnya, “pemilik bakul nan besar”. Arti praksisnya, Tuan Rumah harus memiliki banyak sajian yang ditawarkan pada tamu yang berkunjung, dalam hal ini wisatawan yang diposisikan sebagai “boru”. Dengan demikian wisatawan akan tertarik untuk tinggal lebih lama dan membelanjakan lebih banyak uangnya. 

Begitulah caranya jika orang Batak ingin meraup manfaat ekonomi yang lebih besar dari wisatawan, kelak jika Kawasan Wisata Kelas Dunia Danau Toba berkembang. Jadilah “Raja Huta”, “hula-hula” atau Tuan Rumah Parbahul-bahul Na Bolon”. Agar para “boru temporer” atau wisatawan itu betah dan “boros” di Danau Toba. 

Jika tidak, maka orang Batak selamanya akan menjadi raja-raja angkuh yang miskin. Cuma jadi penonton malang di peringgan kelimpahan ekonomi wisata.(*)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun