Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pak Jokowi, Ujung Tol Medan-Danau Toba Jangan di Parapat

8 September 2016   08:32 Diperbarui: 8 September 2016   16:44 2498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecuali berniat merusak keindahan asli alami Danau Toba, silakan membangun jalan tol sampai ke gerbang Kota Parapat.

Kesan indah pertama Danau Toba bagi pelancong yang datang dari arah Medan, selepas hutan pinus Aeknauli, adalah liukan jalan raya yang dipahat pada tebing curam berhiaskan bongkah-bongkah granit raksasa dan cermin raksasa air danau jauh di kanan bawah, dan gundukan biru Pulau Samosir di kejauhan selatan. Tiap kali saya lewat jalur itu selalu terpikir alangkah indahnya terjun melayang ke air danau berkilau nun jauh di bawah sana, andai saja tidak berujung pada kematian. Atau tersangkut membatu di bibir tebing, seperti legenda “Batu Gantung” di Sibaganding.

Nikmat pertama keindahan alami itu niscaya akan hilang jika ruas tol direntang sampai Parapat. Penyebabnya adalah karakter efisiensi yang anti-estetika, juga anti-etika, pada jalan tol. Demi efisiensi, dengan teknologi jembatan, jalur tol pasti akan direntang lurus dari Aeknauli ke Parapat. Pasti mulus bagus, tapi di mana letak indahnya?

Jalan tol selalu anti-keindahan, tapi pro-efisiensi, yaitu pendek dan cepat. Maka tol Jagorawi misalnya tak menawarkan keindahan tapi kejenuhan. Tol Cikampek-Cipali menawarkan kepedihan, mengingat luas lahan dan jumlah petani yang tergusur. Jalan tol di mana pun selalu begitu. Kita memang tak peduli keindahan sekitar saat bergegas ke sebuah tempat. Semisal lagi kebelet nyari kakus.

Jika tol lurus menghunjam Parapat, orang akan kehilangan pengalaman “jalur meliuk a’la Monaco” dari Sibaganding sampai Parapat. Kehilangan sensasi indah pertama. Ibarat pacaran tanpa pandangan pertama. Selain itu, jika exit tol-nya di Parapat, ada kemungkinan terjadi semacam “Tragedi Brexit” (Brebes Exit), macet total pada musim-musim liburan. Pasalnya Parapat hanya punya satu jalur keluar yang sempit di antara dua tebing.

Tapi bukan hanya itu masalahnya. Ruas tol itu akan membelah hutan primer “Harangan Ganjang” (hutan panjang) yang terbentang dari Tiga Dolok (di selatan P. Siantar) sampai Aeknauli. Hutan ini adalah penyimpan air untuk keperluan irigasi di sekitar Siantar. Sebagian juga untuk memasok air ke Danau Toba. Jalur tol dan koridornya, yang pasti akan dimasuki investor, berpotensi merusak tata air kawasan Danau Toba.

Di Tiga Dolok itu ada mata air (telaga) Manigom, obyek wisata lokal. Menurut penuturan warga lokal, mata air itu bocoran dari Danau Toba. Konon ada kalanya mata air itu membawa serta jerami, bahkan dayung sampan. Tak usah dipercaya. Saya menduga Manigom adalah mata air artesis yang airnya berasal dari perbukitan “Harangan Ganjang”.

Saya bukan seorang anti tol. Tapi khusus untuk rencana tol Medan-Parapat, sebaiknya tidak berujung di Parapat. Salah satu pilihan ujung tol yang strategis adalah Sidamanik, di selatan Siantar, menembus perkebunan teh dan sawit, di bawah naungan Gunung Simbolon.

Exit Tol Sidamanik dapat dipecah tiga. Pertama, lurus turun ke Tigaras di pantai barat luar Danau Toba, antara Parapat dan Haranggaol. Tigaras dapat dikembangkan jadi pelabuhan baru untuk akses ke Samosir. Kedua, belok kiri ke Aeknauli, lewat jalur perbukitan Simarjarunjung, untuk selanjutnya ke Sibaganding lalu Parapat. Ketiga, belok kanan ke Saribudolok untuk selanjutnya ke Sidikalang di barat atau Berastagi di utara.

Jalur exit kanan itu potensial dikembangkan menjadi jalur tol untuk membuka isolasi pembangunan di dataran tinggi utara (Simalungun dan Karo) dan barat (Dairi dan Humbang- Hasundutan). Rutenya dapat melingkar dari Sidamanik ke Saribudolok di utara, lalu lurus ke Merek (pintu Tongging, Karo) di arah barat laut. Selanjutnya memutar ke selatan sepanjang dataran tinggi barat Danau Toba. Melewati Sumbul dan Silahisabungan (Dairi), Tele dan Harian (Samosir), lurus ke Doloksanggul (Humbang Hasundutan), lalu berujung di Siborongborong/Bandara Silangit (Tapanuli Utara).

Di sepanjang tol lingkar utara-barat itu dapat dibuat exit tol untuk lokasi-lokasi wisata tepi danau. Antara lain exit Tongging (air terjun), Silalahi (wisata budaya), Tele (ke Sianjurmulamula, kampung pertama Batak; Gunung Pusukbuhit; Terusan Wilhelmina; Pangururan), dan Baktiraja (budaya lembah) di Humbang Hasundutan.

Dengan demikian jalur timur danau dapat dipertahankan keasliannya yang indah dan bersejarah. Sedikitnya ada tiga kekhasan jalur itu, yang potensial juga sebagai obyek wisata.

Pertama, jalur ini (Aeknauli-Parapat-Lumbanjulu-Porsea-Balige-Siborongborong) tergolong hasil kerja tinggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Di jalur itu misalnya bisa dinikmati arsitektur jembatan khas Belanda, antara lain Jembatan Sibaganding dan Siserasera (Girsang, tetangga timur Parapat) yang terkenal angker. Di ruas Sibaganding itu sampai awal 1970-an sebenarnya ada jalan terowongan, menembus lapisan granit. Sayang, sudah ditutup.

Kedua, koridor kiri ruas itu adalah punggung Bukit Barisan yang masih berupa hutan hujan tropis, untuk sebagian masih perawan. Pemandangan itu bisa dinikmati sepanjang jalur.

Ketiga, jalur itu memiliki sekurangnya tiga ruas berkelok-kelok yang eksotis, yaitu ruas Aeknauli-Parapat, ruas Lumbanjulu-Jangga, dan ruas Balige-Sipitupitu (arah Silangit).

Turun dari Silangit, lewat Sipitupitu, ke Soposurung lalu Balige, sama eksotisnya seperti turun dari Aeknauli ke Parapat. Cermin raksasa air danau terhampar di depan mata dan biru Samosir di kejauhan. Bedanya, Aeknauli adalah gerbang utara danau, sedangkan Silangit gerbang selatan.

Baiklah, tidak perlu berpanjang-panjang lagi karena saya cuma ingin menyampaikan harapan. Langsung saja kepada Bapak Presiden kita, Pak Jokowi, yang agaknya sudah “jatuh cinta” kepada Danau Toba, wilayah kuasa “Boru (Dewi) Saniangnaga”.

Terus terang saja, “Pak Jokowi, tol Medan-Danau Toba, jika hendak direalisasikan, mohon tidak berujung di Parapat, tapi di Sidamanik saja. Terimakasih, Pak Jokowi.”(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun