Dengan demikian jalur timur danau dapat dipertahankan keasliannya yang indah dan bersejarah. Sedikitnya ada tiga kekhasan jalur itu, yang potensial juga sebagai obyek wisata.
Pertama, jalur ini (Aeknauli-Parapat-Lumbanjulu-Porsea-Balige-Siborongborong) tergolong hasil kerja tinggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Di jalur itu misalnya bisa dinikmati arsitektur jembatan khas Belanda, antara lain Jembatan Sibaganding dan Siserasera (Girsang, tetangga timur Parapat) yang terkenal angker. Di ruas Sibaganding itu sampai awal 1970-an sebenarnya ada jalan terowongan, menembus lapisan granit. Sayang, sudah ditutup.
Kedua, koridor kiri ruas itu adalah punggung Bukit Barisan yang masih berupa hutan hujan tropis, untuk sebagian masih perawan. Pemandangan itu bisa dinikmati sepanjang jalur.
Ketiga, jalur itu memiliki sekurangnya tiga ruas berkelok-kelok yang eksotis, yaitu ruas Aeknauli-Parapat, ruas Lumbanjulu-Jangga, dan ruas Balige-Sipitupitu (arah Silangit).
Turun dari Silangit, lewat Sipitupitu, ke Soposurung lalu Balige, sama eksotisnya seperti turun dari Aeknauli ke Parapat. Cermin raksasa air danau terhampar di depan mata dan biru Samosir di kejauhan. Bedanya, Aeknauli adalah gerbang utara danau, sedangkan Silangit gerbang selatan.
Baiklah, tidak perlu berpanjang-panjang lagi karena saya cuma ingin menyampaikan harapan. Langsung saja kepada Bapak Presiden kita, Pak Jokowi, yang agaknya sudah “jatuh cinta” kepada Danau Toba, wilayah kuasa “Boru (Dewi) Saniangnaga”.
Terus terang saja, “Pak Jokowi, tol Medan-Danau Toba, jika hendak direalisasikan, mohon tidak berujung di Parapat, tapi di Sidamanik saja. Terimakasih, Pak Jokowi.”(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H