[caption caption="Www.metroasahan.com "]Jika kawasan lingkar Danau Toba hendak dijadikan destinasi wisata kelas dunia, maka perlu dipikirkan untuk membentuk satu kota wisata modern di sana.
Sebab di lingkar Danau Toba itu, tidak ada satupun kota wisata modern. Balige, Tobasa dan Pangururan, Samosir aslinya adalah kota kecamatan yang menjadi ibu kota kabupaten. Parapat, Simalungun dan tetangganya Ajibata, Tobasa , juga Porsea, Tobasa dan Haranggaol, Simalungun sampai sekarang masih kota kecamatan. Itu untuk menyebut sejumlah kota yang menonjol.
Tapi pertanyaannya tentulah apa sih urgensi sebuah kota wisata modern untuk kawasan wisata Danau Toba.
Jawabannya simpel saja. Sebuah kawasan wisata besar, seperti Danau Toba, memerlukan sebuah kota wisata modern sebagai pusat industri pariwisata. Kota ini akan menjadi simpul utama (center) jejaring layan wisata di seluruh kawasan Danau Toba.
Ringkasnya, kota wisata modern itu menjadi pintu keluar/masuk wisatawan ke/dari semua penjuru/lokus wisata Danau Toba. Di samping juga menjadi lokus semua ragam wisata semisal alam, budaya, sejarah, geologi, ekonomi rakyat, dan kuliner yang ada di sana
Hal teoritis itu lebih baik dijelaskan dengan contoh. Kota Bandung adalah simpul layanan wisata Priangan. Jogjakarta simpul layanan wisata DIY. Malang simpul layanan wisata Malang dan sekitarnya. Denpasar simpul layanan wisata Bali. Mataram simpul layanan wisata Lombok. Jika berkunjung ke daerah-daerah wisata itu, hampir tak mungkin melewatkan kota-kota tersebut.
Pertanyaannya, untuk kawasan Danau Toba kota mana yang layak dikembangkan menjadi simpul utama layanan wisata?
Mungkin ada yang menunjuk kota Parapat, atau Balige, atau Pangururan. Tapi saya punya pemikiran yang beda.
Saya berpikir untuk mengembangkan satu kota wisata modern dengan menggabungkan tiga kota/desa-kota yang sudah ada. Persisnya kota Parapat, Simalungun, kota Ajibata, Toba-Samosir, dan desa-kota Tomok, Samosir.
Ini saya sebut “segitiga kota wisata” Parapat-Tomok-Ajibata. Disingkat jadi Kota Partoba (PARapat-TOmok-ajiBAta).
Jika Kota Partoba dibentuk, maka dia akan menjadi kota yang unik karena sebagian terbesar wilayahnya adalah perairan Danau Toba. Perairan yang terbentang dari pantai Parapat-Ajibata di garis pantai timur-luar dan pantai Tomok di garis pantai timur- dalam.
Tentu akan menjadi tantangan tersendiri untuk mengembangkan perairan itu sebagai kawasan wisata air. Bukan saja wisata wahana taman air dan pelesir danau, tapi juga wisata perikanan danau misalnya.
Tapi tantangan utamanya sudah pasti menjadikan Kota Partoba sebagai acuan baku performa ragam aspek wisata untuk keseluruhan kawasan Danau Toba.
Pertama, menjadi acuan baku pengendalian pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran air danau, untuk menjamin kebersihan danau sesuai baku mutu. Sekarang ini tingkat pencemaran air danau tergolong tinggi.
Kedua, menjadi acuan baku penghijauan kawasan perbukitan Danau Toba. Kawasan Danau Toba kini mengalami deforestasi yang mengancam tata-air, khususnya neraca air. Lereng perbukitan sekitar Parapat, Ajibata, dan Tomok dapat dijadikan model penghijauan, dipadukan dengan fungsi-fungsi wanatani dan wanawisata.
Ketiga, menjadi acuan untuk zonasi kegiatan ekonomi yang diintegrasikan dengan fungsi wisata. Parapat misalnya menjadi zona perhotelan /konvensi, pertujukan, sejarah, dan wisata geologi. Ajibata menjadi zona wisata ekonomi rakyat. Tomok menjadi zona wisata budaya, agrowisata, dan wanawisata. Lalu perairan segitiga Partoba menjadi zona wisata air. Ini contoh zonasi saja.
Keempat, menjadi acuan transformasi kultural masyarakat Danau Toba dari kultur pertanian ke kultur wisata. Ini tantangan berat. Karena kultur pertanian cenderung introvert, melayani diri sendiri. Sementara kultur wisata bersifat ekstrovert, melayani pihak lain. Ini tidak mudah bagi masyarakat Danau Toba.
Kelima, menjadi acuan tata-kelola badan air sebagai wilayah administratif pemerintahan kota. Tantangannya adalah menjadikan segitiga perairan Partoba sebagai penyatu tiga titik kota, bukan sebagai pemisah.
Kelima, menjadi acuan pengembangan teknologi wisata modern. Sebagai contoh ekstrim, transportasi Parapat-Tomok bisa menggunakan kereta gantung lintas danau.
Gagasan pembentukan Kota Partoba mungkin terdengar “sinting”. Pasti juga akan dihadapkan pada resistensi pemerintah dan masyarakat daerah Tobasa, Samosir, dan Simalungun yang akan “kehilangan” lokus wisata terbaiknya. Sebab, jika diwujudkan, Kota Partoba akan menjadi kotamadya mandiri, lepas dari tiga kabupaten induknya.
Tapi kalau melihat dampak positifnya nanti untuk mendukung perkembangan kawasan wisata Danau Toba secara keseluruhan, setiap pemangku sebaiknya memasang kepala dingin dulu. Lalu mulai duduk bersama membicarakan kemungkinan itu.
Boleh coba bertukar-pikiran di atas kapal pesiar, mengapung di tengah danau segitiga Partoba. Mungkin hasilnya akan menggembirakan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H