Tentu akan menjadi tantangan tersendiri untuk mengembangkan perairan itu sebagai kawasan wisata air. Bukan saja wisata wahana taman air dan pelesir danau, tapi juga wisata perikanan danau misalnya.
Tapi tantangan utamanya sudah pasti menjadikan Kota Partoba sebagai acuan baku performa ragam aspek wisata untuk keseluruhan kawasan Danau Toba.
Pertama, menjadi acuan baku pengendalian pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran air danau, untuk menjamin kebersihan danau sesuai baku mutu. Sekarang ini tingkat pencemaran air danau tergolong tinggi.
Kedua, menjadi acuan baku penghijauan kawasan perbukitan Danau Toba. Kawasan Danau Toba kini mengalami deforestasi yang mengancam tata-air, khususnya neraca air. Lereng perbukitan sekitar Parapat, Ajibata, dan Tomok dapat dijadikan model penghijauan, dipadukan dengan fungsi-fungsi wanatani dan wanawisata.
Ketiga, menjadi acuan untuk zonasi kegiatan ekonomi yang diintegrasikan dengan fungsi wisata. Parapat misalnya menjadi zona perhotelan /konvensi, pertujukan, sejarah, dan wisata geologi. Ajibata menjadi zona wisata ekonomi rakyat. Tomok menjadi zona wisata budaya, agrowisata, dan wanawisata. Lalu perairan segitiga Partoba menjadi zona wisata air. Ini contoh zonasi saja.
Keempat, menjadi acuan transformasi kultural masyarakat Danau Toba dari kultur pertanian ke kultur wisata. Ini tantangan berat. Karena kultur pertanian cenderung introvert, melayani diri sendiri. Sementara kultur wisata bersifat ekstrovert, melayani pihak lain. Ini tidak mudah bagi masyarakat Danau Toba.
Kelima, menjadi acuan tata-kelola badan air sebagai wilayah administratif pemerintahan kota. Tantangannya adalah menjadikan segitiga perairan Partoba sebagai penyatu tiga titik kota, bukan sebagai pemisah.
Kelima, menjadi acuan pengembangan teknologi wisata modern. Sebagai contoh ekstrim, transportasi Parapat-Tomok bisa menggunakan kereta gantung lintas danau.
Gagasan pembentukan Kota Partoba mungkin terdengar “sinting”. Pasti juga akan dihadapkan pada resistensi pemerintah dan masyarakat daerah Tobasa, Samosir, dan Simalungun yang akan “kehilangan” lokus wisata terbaiknya. Sebab, jika diwujudkan, Kota Partoba akan menjadi kotamadya mandiri, lepas dari tiga kabupaten induknya.
Tapi kalau melihat dampak positifnya nanti untuk mendukung perkembangan kawasan wisata Danau Toba secara keseluruhan, setiap pemangku sebaiknya memasang kepala dingin dulu. Lalu mulai duduk bersama membicarakan kemungkinan itu.
Boleh coba bertukar-pikiran di atas kapal pesiar, mengapung di tengah danau segitiga Partoba. Mungkin hasilnya akan menggembirakan.(*)