Kemeriahan Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba 2016 sudah usai. Rangkaian tortor,  tarian  ragam puak Batak, bentangan ulos 500 meter, pawai identitas budaya puak-puak Batak dan ragam etnis nusantara, dendang aneka lagu, dan aneka sajian budaya lainnya sudah selesai digelar.Â
Pertanyaannya, setelah segala kemeriahan  yang di-gong-i Presiden Joko Widodo itu berakhir, lalu bagaimana selanjutnya? Tentu tidak cukup berpuas diri, karena sudah sukses menghelat sebuah pesta besar. Tugas maha berat sudah menunggu di depan mata, yakni pengembangan Danau Toba sebagai kawasan wisata kelas dunia.
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan mengangkat empat peristiwa spesifik dalam karnaval itu, untuk ditafsir maknanya. Tafsir makna itu diharapkan bisa dipertimbangkan sebagai jiwa (spirit)Â
Peristiwa yang saya maksud adalah tangisan Bupati Simalungun, kelakar Menteri PUPR tentang perlunya orang Batak belajar senyum, sindiran Presiden Jokowi soal tanam sejuta pohon, dan tragedi ikat kepala aneh Presiden Jokowi.
Makna Tangisan Bupati Simalungun
Saat jumpa pers Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba 2016 di Hotel Inna Parapat (20/8/16), Bupati Simalungun J.R. Saragih menangis  kecewa  karena menurut dia puak Batak Simalungun, Karo, dan Dairi tidak diberi ruang menampilkan budayanya dalam karnaval itu (Kompas.com, 20/8/16; Beritasumut.com, 20/8/16; Republika.com, 20/8/16).
Di permukaan, tangisan Bupati Simalungun mungkin terkesan mengada-ada, lebay atau semacamnya, karena faktual semua puak Batak mempertunjukkan khasanah budayanya dalam karnaval itu. Tapi terpendam di bawah, sebenarnya ada persoalan inferioritas puak Simalungun, Karo, dan Pakpak di satu pihak, dan sikap superioritas puak Toba di lain pihak.
Jika merujuk sejarah, sudah sejak 1910-an puak Simalungun terdesak oleh puak Toba ke pedalaman, menyusul migrasi orang Batak Toba ke Siantar dan sekitarnya, untuk membuka sawah atas sponsor pemerintah kolonial Belanda.
Sejak itu diaspora Batak Toba terus merangsek ke daerah Barat (Dairi), utara (Karo), dan timur (Simalungun) dan berupaya menegakkan hegemoninya di situ. Di Siantar misalnya ada Kampung Kristen dengan nama-nama jalan mengambil nama-nama kota/kecamatan di Toba, Samosir, Tapanuli, dan Humbang.
Masalah sikap inferioritas-superioritas antar puak Batak ini harus diselesaikan sebagai syarat kondisional untuk keberhasilan pembangunan kawasan wisata Danau Toba. Harus terbangun sikap kesetaraan antar puak. Jika tidak, maka Danau Toba berpotensi menjadi arena dominasi bagi puak Toba, dan resistensi bagi puak Simalungun, Karo, dan Pakpak. Dengan kata lain, Danau Toba akan menjadi arena konflik sosial antar puak.
Makna Kelakar Menteri PUPR