Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Tangisan Bupati ke Tragedi Ikat Kepala Presiden

25 Agustus 2016   15:41 Diperbarui: 25 Agustus 2016   15:49 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tegasnya, presiden mau bilang, pembangunan kawasan wisata Danau Toba harus dimulai dari pembangunan kesadaran,  kemauan, dan kemampuan orang Batak memulihkan dan kemudian memelihara mutu lingkungan hidupnya, khususnya lingkungan alam fisik (tanah, vegetasi, dan air). Tanpa itu Danau Toba sebagai obyek wisata kelas dunia Cuma mimpi.

Makna Tragedi Ikat Kepala Presiden

Ketika hadir dalam Karnaval Danau Toba di Balige (21/8/16), Presiden Jokowi mengenakan ikat kepala (tali-tali) yang aneh, berupa wig blonde. Kontan ikat kepala itu menjadi kontroversi, yang menjurus ke olok-olok yang menghinakan presiden. Sungguh, itu sebuah “tragedi”.

Perancang ikat kepala itu, orang Batak Jakarta, meniatkannya sebagai penanda status raja. Masalahnya, ada dua soal pada niatan itu.

Pertama, orang Batak itu tak pernah punya raja, karena tak pernah punya tradisi bernegara. Yang dikenal sebagai raja Sisingamangaraja itu bukan raja dalam arti penguasa wilayah, melainkan pendeta raja (king priest) dalam konteks agama asli Batak. Artinya, sia-sia saja mencari rujukan pakaian Raja Batak.

Kedua, orang Batak mengenal “raja huta” dengan busana yang beda dari satu dan lain puak Batak, sehingga tak ada rujukan baku.

Yang bisa disepakati lazimnya adalah jenis ulos yang selayaknya disandang “orang yang dirajakan”. Baik ikat kepala, selendang, dan bawahan, serta tali pinggang, pedang, dan tongkat.

Masalahnya, terbuka kemudian, perancang busana karnaval itu, juga panitia pelaksana, adalah “orang Batak Jakarta”. Jadi busana yang ditampilkan itu adalah busana Batak menurut tafsir “orang Batak luar”, Batak rantau.

Makna di balik tragedi ikat kepala itu, apa yang terjadi di kawasan Danau Toba, sesungguhnya berada di bawah kendali orang Batak “sukses” Jakarta. Karnaval Danau Toba dikendalikan orang Batak Jakarta. Otorita Danau Toba juga nantinya akan begitu.

Ada dua pertanyaan di sini. Apakah orang Batak yang tinggal di “Bona Pasogit” (Kampung Halaman) memang tidak mampu mengelola Danau Toba? Atau, kepentingan orang Batak rantau, terutama Batak Jakarta, yang terlalu dominan, sehingga kepentingan dan inisiatif Batak Bona Pasogit menjadi periferal?

Pertanyaan besarnya, apakah sedang berlaku struktur subordinasi Batak Bona Pasogit ke bawah Batak Rantau? Soal ini harus dijawab secara jujur, sebelum masuk pada pengembangan Danau Toba. Sebab jika struktur subordinasi itu benar adanya, maka Batak Bona Pasogit hanya akan beroleh remah-remah saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun