Setelah menuliskan dua artikel provokatif tentang hubungan orang Batak dan Danau Toba, ijinkan saya menggenapinya dengan tulisan penyimpul ini. (Lihat: “Alangkah Jeleknya Danau Toba”, K.07.08.16; “Jangan Percayakan Danau Toba pada Orang Batak?”, K.17.08.16).
Untuk menghindari tuduhan “ngarang”, saya akan tetap merujuk pada fakta empiris terutama hasil-hasil penelitian. Jadi, jika ada bantahan, hendaknya juga berdasar fakta empirik yang sahih.
Saya akan mulai dengan penyimpulan karakter sosial orang (masyarakat) Batak (Toba). Lalu menyimpulkan implikasinya pada kondisi Danau Toba kini dan perkiraannya ke depan.
Etos Kerja, Patriarki, dan Konflik Sosial
Ada tiga karakter sosial orang Batak yang hendak saya sampaikan di sini yaitu etos kerja, struktur patriarki, dan pola konflik sosial.
Pertama, tentang etos kerja. Hasil riset sejarah sosiologi ekonomi industri tenun Balige oleh M.T.F. Sitorus (1999) menyimpulkan orang Batak menganut etos kerja petani Batak yaitu “kerja keras untuk kemajuan anak”. Khususnya demi pendidikan tinggi dan pekerjaan bagus untuk anak. Etos kerja ini tetap dibawa ke dalam lingkungan industri tenun/tekstil.
Dengan etos itu, siklus perkembangan skala usaha/pendapatan kemudian berbanding lurus dengan tuntutan beban biaya untuk sekolah/pekerjaan anak. Konsekuensinya, ketika anak sudah mentas semua, skala usaha/pendapatan pun menyusut. Ini menjelaskan gejala deindustrialisasi industri tenun di Balige, dari skala pabrikan ke skala rumahan.
Kedua, tentang patriarki. Studi I.J. Simbolon (1998) menyimpulkan struktur patriarki pada masyarakat Batak berimplikasi hak milik tanah ada di tangan laki-laki, representasi marga raja di tiap kampung (huta). Perempuan, representasi marga penumpang, tidak punya hak milik atas tanah, karena itu bisa diusir dari atas tanah kampung untuk alasan tertentu.
Struktur pemilikan tanah berdasar patriarki ini berimplikasi serius saat dikaitkan dengan gejala migrasi kaum lelaki Batak, akibat marginalisasi pertanian. Studi J. Rodenburg (1997) menunjukkan perempuan Batak yang ditinggal suami/anak lelaki merantau bertanggungjawab mengolah dan memelihara tanah pertanian, tapi tak punya hak untuk mengambil keputusan atas tanah, semisal alihguna, alih hak, atau menjual.
Ketiga, tentang konflik sosial. Studi B.A. Simanjuntak (2009) tentang pola konflik, dengan mengambil kasus konflik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sejak 1920-an, menyimpulkan inti konflik dalam masyarakat Batak adalah perebutan kekuasaan yang melekat pada status sosial. Tujuannya untuk menguasai sekaligus dua sumber kuasa yaitu ekonomi dan politik. Karena kekuasaan dan kekayaan cenderung saling menguatkan.
Maka, orang Batak cenderung berkonflik jika ada peluang kekuasaan yang dapat diperebutkan. Hal itu merupakan manifestasi tiga nilai yang dikejar orang Batak dalam hidup yaitu “hamoraon, hagabeon, hasangapon” (kekayaan, kesuksesan, kemuliaan).
Danau Toba Kini dan Nanti
Kondisi Kawasan Danau Toba, tanah dan airnya, kini cukup digambarkan dengan tiga kata, “gundul dan kotor”. Gundul akibat deforestasi, penebangan berlebih. Kotor karena pencemaran air berlebih, baik dari budidaya karamba maupun dari aktivitas industri, jasa, pertanian, dan rumahtangga.
Deforestasi dan pencemaran sepintas tak ada hubungannya dengan karakter sosial orang Batak yang disebut tadi. Tapi, jika diperiksa lebih jauh, akan segera terlihat bahwa di belakang dua masalah itu sebenarnya ada dukungan patriarki dan pemenang konflik sosial. Hutan yang digunduli, dan wilayah danau terpolusi oleh karamba, semuanya atas dukungan “laki-laki” atau “marga raja”. Jika ada perlawanan misalnya dari “perempuan” (marga pendatang), maka “laki-laki” yang memegang hegemoni politik kampung umumnya tampil sebagai pemenang.
Di bawah “pengaturan” marga raja, eksploitasi sumberdaya alam Danau Toba berlangsung nyaris tanpa kendali, tanpa upaya nyata untuk pelestariannya. Gejala yang teramati kini adalah semacam “tragedi kepemilikan bersama” (tragedy of the commons), merujuk G. Hardin (1968). Pokoknya ambil sebanyak mungkin, hancur bukan urusan.
Ke depan, dengan adanya kebijakan pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata prioritas, karakter sosial orang Batak itu akan menjadi tantangan tersendiri, kalau bukan jadi kendala.
Pertama, etos kerja petani Batak itu berpotensi kontra-produktif terhadap proses pengembangan Kawasan Wisata Danau Toba. Implikasi penciutan skala usaha pada etos kerja itu tidak konsisten dengan orientasi pertumbuhan berkelanjutan pada pembangunan Danau Toba.
Kedua, karakter patriarki akan berdampak pada dua aspek yaitu pengadaan tanah dan tenaga kerja. Karena tanah adalah basis kekuasaan marga raja, maka pelepasannya untuk otorita Danau Toba tidak akan mudah. Di sisi lain, pengadaan tenaga kerja wisata akan cenderung mengutamakan laki-laki, padahal perempuan Bataklah yang memiliki jiwa mengelola, memelihara, dan melayani.
Ketiga, terkait karakter konflik, kebijakan pembentukan Badan Otorita Danau Toba potensil menjadi area konflik. Masalahnya badan itu merupakan sumber kekuasaan besar, sehingga akan banyak pihak dalam masyarakat Batak, di kampung maupun rantau, akan berebut posisi strategis di dalamnya. Sangat mungkin terjadi konflik antar kelompok, yang dapat melahirkan kekuatan perlawanan yang terus-menerus mengganggu.
Apa yang sudah saya sampaikan bukanlah kebenaran mutlak, kendati berdasar hasil riset. Di situlah pentingnya diskusi, untuk mendapatkan konsep terbaik bagi pengembangan kawasan wisata Danau Toba.
Horas jala gabe!(*)
*)Kecuali artikel G. Hardin (The Tragedy of the Commons, Science Vol. 162, 13 Dec 1968), maka karya-karya lainnya yang dirujuk dalam tulisan ini adalah hasil penelitian disertasi yang telah dipublikasikan, dalam bentuk artikel dan/atau buku (dapat diakses di internet).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H