Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Marahnya Risma Minus Logika, Etika, dan Estetika

14 Agustus 2016   15:55 Diperbarui: 15 Agustus 2016   01:47 2278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Marah itu sah-sah saja. Asalkan logis, etis, dan estetis.

Lha, marah kok pakai aturan logika, etika, dan estetika. Repot amat. Marah ya marah aja. 

Tunggu dulu! Marah itu juga termasuk ekspresi pikiran dan rasa. Pikiran menyangkut logika. Rasa menyangkut etika dan estetika.

Intinya, marah yang logis, etis, dan estetis itu adalah marah yang sehat dan produktif. Mengungkap masalah, lalu memberi solusi.

Sebaliknya, marah yang tak logis, tak etis, dan tak estetis adalah marah yang sakit dan kontra-produktif. Istilah yang tepat untuk jenis marah seperti ini adalah “kalap”, “gelap mata”, atau “membabi-buta”.

Marahnya Risma baru-baru ini pada Ahok adalah teladan marah yang tak logis, tak etis, dan tak estetis. 

Tak logis karena  kemarahan Risma keluar dari konteks dan melenceng substansinya. Ahok mau bilang kalau mau membanding harus “kesemek dengan kesemek”. Kotamadya (Surabaya) harus dibanding dengan Kotamadya (Jakarta Selatan), bukan dengan Provinsi (DKI).

Yang terjadi kemudian Risma keluar dari konteks. Dia malah mengalihkan masalah ke soal penghinaan oleh Ahok, karena dianggap meremehkan Surabaya karena disetarakan hanya dengan Kodya Jakarta Selatan. Lalu menyebut luasan Surabaya sekitar separuh luas Jakarta. Lalu menafsir “peremehan” itu sebagai cermin ketakutan Ahok menjelang  Pilgub DKI 2019. 

Dengan kata lain, dalam marahnya Risma telah melakukan “red herring”. Melempar umpan isu “Pilgub DKI”. Untuk menunjukkan dirinya layak menjadi Gubetnur DKI Jakarta.

Bagusnya, Ahok tak melayani Risma, kecuali bilang Risma sedang “baper”. Akibatnya fatal untuk Risma. Dia   terjebak pada lakon “strawman argument”, dengan membeber ragam keberhasilannya dalam membangun Surabaya. Untuk menunjukkan bahwa dia bisa membangun kota lebih baik dibanding Ahok. Lha, apa hubungannya ya dengan keharusan pembandingan “kesemek dengan kesemek”.

Marahnya Risma itu juga tak etis, karena melecehkan sesama kepala daerah, bahkan kepala daerah yang lebih tinggi tingkatannya.  Masa walikota marah-marah pada gubernur dengan menyebutnya “sombong” dan “takut” (?) segala. Ini sesama kepala daerah lho. Di mana etikanya, coba?

Lain soal kalau Risma berada pada posisi sebagai bakal calon atau calon Gubernur DKI. Mau menjelek-jelekkan kinerja Ahok, silahkan saja. Namanya juga calon gubernur. Perlu promosi kehebatan sendiri dong.

Akhirnya soal estetika. Nah, tentang ini tak perlu berpanjang-panjang. Tonton saja kembali video Risma sedang marah. Ada yang bisa melihat estetika pada kalimat dan ekspresi marahnya? (Saya tak lihat sedikitpun).

Oh ya, ngomong-ngomong soal marah yang logis, etis, dan estetis, adakah teladannya? Ada, coba pelajari cara marah Presiden Soeharto dulu. Atau cara marah Presiden SBY dulu. Dua Presiden RI ini punya cara marah logis, etis, dan estetis.

Atau, bagi pecinta film laga, coba simak cara marah Brucee Lee dalam film “Enter the Dragon”. Perhatikan ekspresinya saat mematahkan leher musuh dengan kakinya. Estetis sekali. Dan bisa dijelaskan logika dan etikanya.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun