Kekecualian adalah sekolah berasrama seperti pesantren, seminari, dan sejumlah sekolah unggulan. Sebab siswanya berada di dalam lingkungan sekolah sepanjang siang-malam.
Argumen itu sangat lemah karena menempatkan “jam sekolah” sebagai variabel pengaruh dan “keliaran anak” sebagai variabel gayut. Mungkin saja siswa dengan jam sekolah pendek punya waktu panjang untuk “berkeliaran” di luar rumah. Tapi itu tak berarti mereka menjadi “anak liar”.
Argumen 3: “… kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orang tuanya usai jam kerja.”
Tanggapan saya: Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa siswa FDS tidak memiliki beban “pekerjaan rumah” (PR) dari gurunya.
Bahkan di sekolah berasrama yang menerapkan FDS sekalipun, siswa masih wajib belajar malam hari untuk menyelesaikan tumpukan PR. Sekolah senacam itu membedakan PR dengan PS (pekerjaan sekolah).
Argumen 4: “Aktivitas lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam … pihak sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz yang sudah diketahui latar belakang dan rekam jejaknya. … kalau mereka mengaji di luar, dikhawatirkan ada yang mengajarkan hal-hal yang menyimpang.”
Tanggapan saya: Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa pengajian dalam-sekolah lebih baik dibanding pengajian luar-sekolah.
Juga tidak ada bukti bahwa seseorang menjadi sesat imannya karena dia mendapat pelajaran agama di luar sekolah.
Tanggapan saya pada intinya adalah sebuah permintaan kepada Pak Mendikbud Muhadjir, agar selalu mendasarkan setiap gagasan inovatifnya pada argumen ilmiah yang kuat.
Janganlah menggunakan argumen spekulatif yang lemah, karena berpotensi fitnah atau sekurang-kurangnya “asal bunyi”.
Tolong diingat Pak Mendikbud, Anda memimpin institusi pendidikan, penegak cara berpikir ilmiah. Jadi, tolonglah berpikir ilmiah sedikit.(*)