Danau Toba Jorok dan Gundul (Sumber: batakgaul.com)
Ada anekdot begini. Sebelum bergerak menaklukkan Tanah Batak, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirim seorang mata-mata ke Tanah Batak. Misinya: cari tahu bagaimana kehidupan orang Batak.
Mata-mata itu melaksanakan tugasnya dengan baik. Sekembali dari Tanah Batak, dia melapor kepada Gubernur Jenderal di Batavia.
“Lapor,” katanya, “Tanah Batak subur-makmur. Orang Batak hidup sejahtera dan bahagia. Tiap sore para lelakinya minum susu sambil nyanyi-nyanyi di kedai.”
“Bagus,” sambut Gubernur Jenderal, “kita harus taklukkan daerah makmur itu. Sekarang juga!”
Maka dikirimlah pasukan Pemerintah Hindia Belanda untuk menaklukkan Tanah Batak. Sukses! “Noktah putih”, tanda “wilayah merdeka” dalam peta Pulau Sumatera hilang.
Pandangan "Orang Luar"
Apakah benar para lelaki Batak tiap sore minum susu sambil berdendang-ria di kedai?
Tentu saja tidak. Faktanya, mereka minum tuak di lapo tuak, sambil nyanyi’nyanyi. Sebagian mungkin kebablasan mabuk.
Jika dipindah ke masa kini, mungkin mereka melantunkan “Lissooiii”, lagu wajib “Parmitu” (Pe-minum-tuak).
Liriknya antara lain begini: “Dongan sapanghilalaan o parmitu. Dongan sapartinaonan o parmitu. Arsak rap manghalupahon o parmitu. Tole ma rap mangendehon olo tutu.”