Perjalanan dari Bandara Internasional Lombok ke kota Mataram langsung memberi kesan positif tentang kondisi pangan Nusa Tenggara Barat (NTB) kini. Setidaknya itu kesan pertama saya, kali pertama menjejak Lombok NTB, Jumat 19 Juli lalu.
Saya berkunjung ke NTB untuk diskusi dengan pejabat setempat, tentang prospek pengembangan pertanian pangan di sana.
Koridor kiri dan kanan jalan masih diisi panorama hamparan padi sawah dengan bulir-bulir malai yang bernas. Pematang sawah ditumbuhi pohon turi. Daun mudanya dimanfaatkan penduduk setempat untuk urapan. Polong mudanya untuk sayur plecing. Tentu kembangnya bisa untuk bahan pecel.
Maka, dengan padi serta daun turi, areal sawah itu menghasilkan sekaligus bahan pangan pokok beras dan sayuran.
Kesan dari pandangan pertama itu klop dengan data Kementerian Pertanian. Dalam lima tahun terakhir, 2010-2015, produksi padi NTB telah meningkat 36.72% dari 1.77 juta menjadi 2,42 juta ton. Luas panen meningkat 41.16 % dari 331.9 ribu menjadi 468.5 ribu ha. Produktivitas meningkat 9.07% dari 4.74 menjadi 5.17 ton GKP/ha.
Jika produksi padi NTB tahun 2015 dikonversi ke beras, maka diperoleh sekitar 1.5 juta ton. Jumlah penduduk tahun itu 5.1 juta jiwa. Jika konsumsi per kapita 139 kg/tahun, maka total konsumsi 708,900 ton. Berarti tahun 2015 NTB surplus beras 0.8 juta ton.
Fakta surplus beras itu dapat menetralisasi fakta rawan pangan di NTB. Di satu pihak, jumlah kecamatan rawan pangan menurun drastis dalam kurun 2010-2015, dari 60 kecamatan menjadi hanya 10 kecamatan. Itupun tergolong prioritas “sedang” (4-5) semua.
Di lain pihak, masalah rawan pangan itu dengan mudah akan dapat diatasi melalui mekanisme distribusi surplus beras.
Angka surplus beras NTB itu jelas bukan sesuatu yang turun dari langit. Tahun 1970-an sampai 1980-an, NTB terkenal sebagai provinsi “rawan pangan”. Dominasi areal pertanian lahan kering di sana waktu itu tak mampu menopang kecukupan pangan.
Tapi ada revolusi pola tanam padi sebagai solusi waktu itu, yaitu inovasi sistem gogo-rancah (gora), menggantikan sistem gogo. Pada sistem gora, padi ditanam saat bulan kering, sehingga bisa mendapat genangan air pada bulan hujan pendek. Hasilnya, produktivitas usahatani padi meningkat dari 1.5-2.0 ton/ha menjadi 3.5-4.5 ton/ha. Bahkan ada kasus peningkatan samoai 7.0 ton/ha.
Bersamaan dengan peningkatan sistem irigasi teknis di NTB, berlangsung pula revolusi benih. Benih padi lokal digantikan oleh benih padi varietas unggul baru produksi tinggi berumur pendek. Mulai dari varietas IR tahun 1980-an sampai Ciherang dan Inpari kini.
Umur pendek memungkinkan padi ditanam dua kali setahun. Sehingga luas tanam/panen meningkat lipat dua. Karena potensi produktivitasnya tinggi, maka produksi keseluruhannya juga menjadi tinggi. Itulah yang telah memberikan surplus beras bagi NTB.
Ketika sejumlah pejabat dan petugas Dinas Pertanian setempat menanyakan penilaian saya tentang capaian pangan NTB, saya hanya bisa bilang, “NTB hebat dan masih bisa lebih hebat lagi!”
Sambil duduk melingkar di saung tani di Puyung, Lombok Tengah, saya coba memberi gambaran.
Dalam pandangan saya, melalui peningkatan adopsi padi varietas unggul, produktivitas padi NTB masih bisa ditingkatkan sampai 5.5 ton GKP/ha. Pada angka itu, jika luas panen tetap 468.5 ribu ha, maka total produksi akan mencapai 2.58 juta ton GKP. Atau sekitar 1.6 juta ton beras. Ini memungkinkan surplus beras 0.9 juta ton.
Ya, seperti saya bilang, NTB hebat dan masih bisa lebih hebat lagi. Provinsi ini telah bertransformasi dari wilayah “rawan pangan” menjadi wilayah “surplus beras”. Dengan peningkatan adopsi benih unggul, dengan cepat provinsi ini dapat memproklamirkan diri sebagai “Lumbung Beras Nasional”.
Komitmen Pemerintah NTB tidak perlu dipertanyakan lagi. Data kinerja pangan telah berbicara sendiri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H