Kedua, bias gender. Ini bersifat sosiologis. Dalam prakteknya, program kesehatan reproduksi terutama menyasar kaum perempuan, remaja maupun dewasa. Sementara kaum laki-laki kurang disentuh.
Ini menjadi masalah. Seolah-olah kesehatan reproduksi itu terutama masalah dan urusan perempuan. Sedangkan kaum laki-laki seolah dibebaskan dari masalah itu.
Padahal, faktanya, kalau bicara aspek fisik, banyak kasus perempuan sakit reproduksi akibat berhubungan dengan laki-laki sakit reproduksi.
Bias gender itu, nyata pula teramati pada aspek sosiologis. Misalnya, contoh pengasuhan anak tadi. Umumnya hal itu dianggap sebagai tanggungjawab ibu atau perempuan. Laki-laki maunya “tahu beres” saja.
Dua bentuk bias itu mengisyaratkan perlunya redefinisi reproduksi dan kesehatan reproduksi.
Intinya, sebagai syarat produksi, sistem reproduksi mencakup keseluruhan sub-sistem reproduksi fisik atau bilogis dan sub-sistem reproduksi sosial atau psikologis dan sosiologis.
Jadi, pemeliharaan dan pengasuhan anak juga merupakan urusan reproduksi. Karena menyangkut pembentukan mentalitas dan moralitas yang sehat.
Intinya, sehat reproduksi adalah sehat fisik, mental, dan moral. Inilah modal untuk mewujudkan produksi yang hebat.
Mulai dari Sekolah
Pengarus-utamaan kesehatan reproduksi idealnya mencakup semua sektor pembangunan. Tapi yang paling krusial sekaligus strategis adalah sektor pendidikan, khususnya sekolah.
Ringkasnya, pengarus-utamaan kesehatan reproduksi tepat dimulai dari sekolah. Jenjang SD, SMP, sampai SMA.