Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerdas Membaca yang Tak Tersurat

14 Juli 2016   22:39 Diperbarui: 15 Juli 2016   14:14 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah tulisan lazimnya mengandung dua jenis fakta:  yang tersaji atau tersurat, dan yang tersembunyi atau tak tersurat.

Fakta tak tersurat itu bersembunyi di belakang fakta tersurat. Butuh sedikit saja kecerdasan khusus untuk dapat membacanya.

Saya akan ambil artikel Pak Tjiptadinata Efendi, "Inikah yang Kita Kejar dalam Hidup?" (K.12.07.2016), sebagai contoh untuk menjelaskan soal tersebut.

Kebetulan artikel itu jugalah yang memicu saya untuk membahas masalah ini.

Artikel Pak Tjip pada intinya mengungkap daya rusak uang (kekayaan) terhadap ikatan persahabatan yang sudah dibuhul sejak kecil (miskin). 

Lalu ada satu komentar kritis dari Pak A begini: "Seperti biasa saya akan berkomentar secara negatif ... Sebelum Anda memperoleh FAKTA sebenarnya mengenai penyebab sebenarnya dari perubahan sikap sahabat yang menunjukkan kesan seakan-akan ia melupakan janji 'masa kecil'nya, seyogianya Anda tidak menghakiminya dengan "extreme prejudice" begitu karena faktor "X" dalam hidup ini sangat banyak yang TIDAK kita ketahui daripada yang kita sangka ketahui berdasarkan "ukuran baju" kita sendiri. ..."

Sebelum Pak Tjip membalas komentar itu, Pak F sudah keburu nimbrung: "... kritik yang bagus. Tapi, menyimak ceritanya, saya berpikir Pak Tjip pasti tahu apa itu "Faktor X". Tapi dia tidak mengungkapkannya karena pertimbangan etika. ..." Pak Tjip mengamini komentar Pak F ini.

Kemudian kepada Pak A dia berujar: "Terima kash kritikannya ... Ada hal hal yang patut disebutkan dalam menampilkan cuplikan biogarafi hidup kita sendiri.  Namun hal-hal yang mengacu atau mengarah atau memberikan petunjuk siapa sosok yang saya maksudkan, tentu tidak etis bila semua saya paparkan disini. Yang penting bukan siapa sosok tersebut dan mengapa, tetapi terlebih pesan moralnya adalah bahwa uang dapat mengubah hati orang. ..."

Kritik Pak A tidak salah, walau sebenarnya tak diarahkan pada gagasan pokok artikel Pak Tjip. Itu khas kritik positivistik, yang selalu mempertanyakan bukti terukur yang valid. Dia mempertanyakan Faktor X yang membuat Adi, teman Pak Tjip, memutus tali persahabatan.

Pak A hanya membaca apa yang tersurat, sesuatu yang positif tersaji. Maka tak bisa lain, kritiknya ya begitulah.

Padahal kalau Pak A berusaha membaca yang tak tersurat di artikel itu, dia pasti bisa menangkap gambaran Faktor X yang dipertanyakannya.

Memang diperlukan sedikit kecerdasan khusus yaitu daya tafsir (interpretasi) untuk membaca yang tak tersurat. Sayangnya, ini memang keahlian khusus kaum interpretivisme, "lawan" kaum positivisme.

Dengan kerja tafsir, dengan cepat bisa diketahui ada fakta yang disembunyikan, atau tak disuratkan, oleh Pak Tjip. Alasan penyembunyian itu pasti etika, satu dari tiga rambu penulisan (lainnya logika dan estetika).

Fakta tak tersurat itu pastilah "fakta negatif atau buruk", sehingga sangat tidak pantas untuk diungkapkan. Lagi pula tulisan itu bukan tentang Adi, tapi tentang dampak negatif uang (kekayaan) pada persahabatan.

Fakta negatif tak tersurat itu sebenarnya bersembunyi di balik antara lain tiga fakta tersurat berikut ini.

Satu: "... saya menitipkan surat kepada salah seorang sanak keluarga yang ke Jakarta untuk Adi dan sangat berharap ia akan membalas surat tersebut, ternyata  bagaikan api tersiram hujan lebat. Bahkan menurut sanak keluarga yang saya titipkan surat, bahkan Adi  tidak bersedia menemuinya. Dan hanya  menyuruh pembantunya untuk menerima surat dari saya."

Dua: "Ketika saya sudah menjadi seorang Eksportir, saya berkali kali mengirimkan surat, baik lewat pos, maupun dititipkan pada teman temen yang ke Jakarta, yang isinya menyatakan 'Adi, bila anda mengalami kesulitan, ada sahabat anda di sini, yang siap membantu. Lupakanlah yang sudah terjadi, kita tetap sahabat lama'."

Tiga: "Terakhir saya dapat kabar bahwa sahabat saya Adi, tewas ditembak orang tak dikenal di rumahnya sendiri."

Dua fakta pertama sebenarnya mengindikasikan bahwa Pak Tjip sudah tahu Faktor X pada Adi dari saudara dan teman-temannya yang jadi kurir surat. Mustahil Pak Tjip tak menggali informasi dan mustahil saudara dan teman-temannya tak bercerita.

Fakta ketiga mengindikasikan Faktor X itu sebagai sesuatu yang sangat buruk, sehingga Adi harus "tewas tertembak".

Pertanyaannya: apakah Faktor X itu? Inilah "pengetahuan tak diungkap" yang dalam bahasa pasaran disebut TST, tahu sama tahu. Artinya, kita tahu "apa itu", tapi kita tak mengungkapnya, justru karena sudah tahu.

Alasan tak mengungkapnya ya pertimbangan etika itu. Sebab kalau diungkap maka bukan TST lagi istilahnya, tapi TMT, teman makan teman.

Begitulah. Saya tak bermaksud menyalahkan atau membenarkan satu pihak dengan tulisan ini. Semata-mata hanya ingin berbagi pemahaman tentang cara membaca yang tak tersurat dalam sebuah artikel.

Kemampuan membaca yang tak tersurat itu akan membantu kita memahami tulisan secara utuh. Lebih dari itu, juga membantu kita untuk menulis artikel yang bercerita lebih dari apa yang tertulis.

Selamat belajar membaca yang tak tersurat.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun