Pak Mendikbud, bulan lalu saya sudah sampaikan masukan lewat artikel “Pak Mendikbud, Ada Sosialisasi Nilai Keserakahan dan Kemalasan di Sekolah Negeri” (K. 16 Juni 2016 ).
Saya tak yakin dan juga tak berharap Pak Mendikbud sempat membacanya. Tapi kalau ada seorang saja staf Bapak membacanya, lalu membicarakannya di internal Kemendikbud, sudah cukuplah.
Sekarang izinkan saya memberi masukan lagi. Khusus terkait masalah spesifik, yaitu pemalakan siswa secara sistematis dan masif.
Tindakan itu melibatkan pihak luar sekolah, dalam hal ini alumni, sehingga mungkin agak susah dijangkau Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Dalam artikel terdahulu, saya sudah singgung mekanisme pemalakan itu. Menurut cerita siswa yang saya dengar, pemalakan itu diorganisir oleh alumni. Kalau alumni SMP berarti siswa SMA. Kalau alumni SMA berarti mahasiswa, atau mungkin juga “preman putus sekolah”.
Contoh yang sudah saya sampaikan terjadi di sekolah negeri di Jakarta, dekat kantor Pak Mendikbud.
Pemalakan oleh senior itu, kelas 3 atau alumni, dikenal dengan istilah “kolekan”. Mekanismenya begini. Berdasar informasi yang saya peroleh, tiap siswa dikenai “kolekan” senilai Rp 2.000-5.000 per hari. Misalkan nilai rata-rata “kolekan” Rp 2,000,- per hari, berarti seminggu sekolah, 5 hari, Rp 10.000,- per siswa.
Jika jumlah kelas junior seluruhnya 10 kelas dan per kelas ada 30 siswa, berarti seluruhnya ada 300 siswa. Jika semua memberi kolekan Rp 10.000,- per minggu, maka akan terkumpul total Rp 3.000.000,- Dalam sebulan akan terkumpul Rp 12.000.000,- atau Rp 18.000.000,- dalam 6 minggu.
Saya sudah sampaikan dulu, hasil kolekan itu bisa digunakan untuk beli motor oleh alumni yang mengkoordinirnya. Dan memang itulah cerita yang saya dengar. Masuk akal, karena harga motor bebek kan sekitar Rp 18,000,000. Kalau mau motor agak besar, motor laki, tunggu 12 minggu. Atau, kalau mau tetap 6 minggu, paksa untuk meningkatkan nilai kolekan per orang jadi minimal Rp 4,000,- per hari.
Yang lebih memiriskan lagi, saya mendapat informasi, ada alumni di SMA yang menargetkan beli mobil melalui mekanisme “kolekan” itu. Omong kosong? Mungkin, tapi coba simak hitung-hitungannya.
Jika dalam sebulan terkumpul Rp 12,000,000,- maka dalam enam bulan akan terkumpul Rp 72,000,000,-. Jumlah itu cukup untuk down payment mobil yang tren untuk anak muda bukan? Selanjutnya dia cukup menyicil dua atau tiga tahun dengan menggunakan uang hasil “kolekan”. Coba, apa gak “enak” tu alumni tukang palak itu.
Pak Menteri, kalau Anda pikir masukan ini “omong kosong”, silahkan kirim “mata-mata” ke sekolah-sekolah negeri (SMP dan SMA) di Jakarta. Coba kumpul informasi dari para siswa, secara “probing”. Temuan "probing" itu nanti bisa menjadi dasar untuk merumuskan solusinya.
Saya tuliskan masukan ini untuk Pak Mendikbud, semata karena ingin membantu pemerintah menciptakan “Lingkungan Sekolah Ramah Anak”. Sekaligus untuk mencegah tumbuhnya mentalitas menerabas di kalangan anak sekolah.
Akan jadi apa nantinya jika alumni pemalak itu menjadi pegawai negeri? Kemungkinan besar dia akan jadi tukang palak juga, alias koruptor. Nanti, kalau dia jadi kepala kantor, dipalaknya pula bawahannya sebagai syarat untuk bisa menerima gaji bulan ketigabelas.
Jika hal itu terjadi, nanti orang akan bergunjing, “Itu kepala kantor dulu SMA-nya pas waktu Pak Anis Baswedan jadi Mendikbud.” Wah, gak enak banget di kuping ya, Pak Anis.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H