Saya tidak menulis artikel untuk Kompasiana hari ini, Selasa 12 Juli 2016. Semata-mata karena alasan kering ide.
Benar-benar kering ide. Dalam arti ide baru. Sebab saya tak tega membagi ide basi kepada rekan-rekan Kompasianer.
Setiap akan menulis artikel, pertanyaan pertama dalam benak saya adalah apakah ada sesuatu yang baru? Entah itu fakta, sudut pandang, kerangka kerja, atau apapun itu.
Dalam hal kebaruan itu, saya harus angkat topi pada Kompasianer Senior Tjiptadinata Effendi. Beliau ini teladan saya untuk selalu berusaha membagi sesuatu yang baru kepada sesama Kompasianer.
Pak Tjip, lewat pengalaman hidupnya yang sungguh kaya, saya pikir sudah menjadi “bendungan ide” yang tak terduga luas dan dalamnya. Maka, setiap hari, beliau tinggal mengalirkan ide-ide itu kepada khalayak, dalam dua sampai empat artikel.
Satu lagi teladan saya adalah Kompasianer Jati Kumoro. Beliau ini sangat ketat pada kriteria kebaruan. Kalau bukan sesuatu yang baru, lebih baik tak menulis, seperti terjadi sekarang. Sering isi artikelnya terlalu “baru”, sehingga tak terjangkau pikiran Admin K. Akibatnya artikelnya jarang masuk kategori Artikel Pilihan apalagi Head Line.
Tapi lihatlah, karena menawarkan “kebaruan”, lazimnya sensasi, artikel rekan Jati selalu kebanjiran pembaca, sehingga hampir selalu masuk ruang Nilai Tertinggi. Tentang para pembacanya, saya yakin mereka datang dari generasi pembaca Nick Carter dan Anny Arrow.
Saya pikir, Pak Tjip dan Pak Jati itu adalah tipe Kompasianer yang konsisten pada bidangnya. Tak mau terbawa arus. Misalnya arus utama sekarang adalah “menguliti” Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Mereka tak ikut-ikutan.
Sikap yang patut dipuji. Juga saya ikuti, tak mau terbawa terus-menerus mengupas Ahok. Dulu isu Ahok memang seksi, tapi sekarang sudah banal. Basi, jenuh, membosankan, itu-itu melulu, tak ada kebaruan.
Bahkan bukan hanya tak ada kebaruan. Artikel-artikel tentang Ahok sekarang sudah seperti gosip politik kedai tuak. Dan kita tahulah siapa yang berkoar di kedai tuak: pemabuk! Malang benar nasib Kompasiana, jadi arena koar-koar para “pemabuk”.
Lagi pula, isi artikel-artikel tentang Ahok itu sudah bertebaran di media massa dan media sosial. Jadi saya heran juga, untuk apa mereproduksinya di Kompasiana? Bukankah itu menghina Kompasianer dan Kompasiana?
Tapi faktanya begitulah. Terlalu banyak artikel reproduksi di Kompasiana. Penulisan artikel semacam itu, mungkin bisa disebut sebagai kegiatan “memahah biak”. Sudah ditelan, dikeluarkan lagi untuk dikunyah-ulang. Terus menerus begitu, sampai saripatinya hilang. Dengan kata lain, keseringan dimamah, artikel jadi kehilangan makna.
Saya pernah melakukan hal seperti itu. Tapi kemudian berusaha untuk meninggalkan cara itu. Atas kesadaran bahwa saya bukan sejenis mahluk “pemamah biak”.
Lebih baik diam tak menulis, ketimbang menjadi “pemamah biak”. Contoh yang baik untuk ini saya kira adalah Kompasianer Sarwo Prasojo. Tadinya beliau ini tergolong Kompasianer “Ikut Angin”. Maksudnya, kemana angin bertiup ke situ dia terbawa. Sampai kemudian, mungkin setelah bertapa di Karangbolong, dia menemukan dirinya sebagai cerpenis.
Maka, rekan Sarwo sekarang konsisten hanya menulis cerpen dan harus Head Line. Kalau tak Head Line, lebih baik tak menulis cerpen. Ini prinsip yang mengagumkan, patut diteladani. Dan saya tahu rekan Sarwo tak mudah untuk sampai ke level itu. Apalagi, selera sastranya sebenarnya tak lebih rendah dari saya.
Satu-satunya Kompasianer yang saya tak ingin teladani adalah Felix Tani. Dia ini tergolong Kompasianer anarkis yang menulis apa saja yang dia mau dengan cara apa saja yang terpikir olehnya. Lebih buruk lagi, dia memproklamirkan diri sebagai penulis artikel picisan dan sangat bangga dengan predikat itu. Saya ingatkan, jangan tiru Kompasianer aneh ini.
Saya agak heran juga sebenarnya ada yang tertarik ikut-ikutan anarkis seperti Felix Tani. Satu orang yang sudah mengaku adalah Kompasianer Pebrianov, menyebut dirinya sebagai penulis “tanpa celana.” Sekarang ini, saya pikir, rekan Pebrianov adalah Kompasianer penulis artikel picisan terbaik di Kompasiana. Boleh ditiru prestasinya.
Sudah 594 kata. Bukankah tadi saya bilang tak menulis artikel di Kompasiana hari ini?
Betul, saya memang tak menulis artikel di Kompasiana hari ini. Di atas kan sudah ada pemberitahuan: artikel ini tidak pernah ada.
Jadi kalau Anda merasa membaca artikel sekarang ini, yakinkanlah diri bahwa Anda sedang membaca sebuah artikel yang tidak pernah ada.
Kok bisa? Apa sih yang gak bisa di Kompasiana?(*)