Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tak Ada Lagi Malam dan Fajar untuk Elie Weisel

3 Juli 2016   19:26 Diperbarui: 4 Juli 2016   12:13 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elie Wiesel / boingboing.net

Perkenalanku dengan Elie Wiesel, putra Yahudi peraih Nobel Perdamaian 1986, bermula di sebuah toko buku. Tepatnya toko buku Gramedia.  Di Jakarta, 6 Agustus 1990.

Elie Weisel memperkenalkan diri padaku dalam rupa novel yang mencabik jiwa. "Malam" (La Nuit), terbitan Yayasan Obor Indonesia, 1988. 

Melalui "Malam", Elie Weisel memperkenalkan diri sebagai Eliezer. Seorang anak Yahudi, 14 tahun, yang mengalami "keselamatan" dari pembantaian di kamp Auschwitz dan Buchenwald, dari holocaust, yang digambarkannya sebagai "malam", saat ketika Tuhan "mati".

"Kematian" Tuhan digambarkannya secara teramat tragis. Melalui ayahnya yang menyerukan namanya, "Eliezer", di saat terakhir sebelum tewas dibantai algojo Nazi. "Eliezer", artinya "Tuhanku pertolonganku".  Dan Tuhan tidak menolong. Eliezer kecil tak kuasa menolong ayahnya.

Eliezer juga tak kuasa menolong ibu dan adik perempuan terkecilnya, saat dibakar hidup-hidup oleh Nazi di tungku pemusnah Yahudi, pada hari pertama mereka tiba di Auschwitz. Setelah perjalanan "setengah mati" dari Hungaria, tempat kelahirannya.

Eliezer, atau Elie Weisel, selamat dari kematian setelah pasukan AS dan sekutunya berhasil menguasai kamp Buchenwald, tempatnya disekap oleh Nazi. Selamat dari pembantaian Nazi, Elie Weisel kemudian memilih menjadi warga negara Prancis.

Aku mengenal lebih dalam Elie Weisel tahun 1991. Juga di toko buku Gramedia Jakarta, pada suatu hari yang aku lupa tanggalnya, lewat "Fajar" (L'Aube), novel sekuel "Malam". 

Dalam "Fajar", Elie Weisel hadir sebagai Elisha, tokoh teroris muda, 17 tahun, yang anti-kolialisme Inggris di Palestina. Oleh atasannya, dia ditugaskan menjadi algojo untuk John Dawson, seorang kapten Inggris yang disandera kelompoknya. John Dawson harus dibunuh sebagai "nyawa ganti nyawa" untuk David bin Mosye, tokoh teroris yang dihukum mati oleh Inggris.

Elisha harus membunuh John Dawson demi kebencian kepada Inggris. Dan dia harus mengenal lebih baik John Dawson, agar bisa membencinya dengan lebih baik. Kebencian yang hanya mungkin dimiliki manusia. Sebab Tuhan tak memilikinya.

Maka dengan kesadaran penuh, Elisha akhirnya berhasil menjadi algojo bagi John Dawson. Sama lakonnya dengan algojo Nazi yang telah membinasakan ayah, ibu, dan adik- adiknya.

Elie Weisel menggambarkan eksekusi John Dawson oleh Elisha dengan cara yang meneror kesadaran imani. John Dawson memanggil namanya, "Elisha", pada hembusan nafas terakhir, setelah peluru menembus jatungnya. "Elisha", artinya "Tuhan mendengar". Tapi Tuhan tak mendengar, Elisha tetap menembak mati John Dawson. Sama seperti dulu, Tuhan tidak menolong, ketika ayahnya menyerukan "Eliezer".

Elie Weisel menutup "Malam" dan "Fajar" dengan pengakuan yang sangat mengerikan.

Di ujung "Malam" dia mengaku: "... aku ingin melihat diriku dalam kaca yang bergantung di mukaku. Aku sudah tidak pernah melihat diriku semenjak kami tinggalkan ghetto. Dari lubuk terdalam kaca itu, sosok mayat membalas pandanganku. Sorotan matanya, membalas mataku, hingga hari ini masih tetap menghantuiku."

Di ujung malam menjelang "Fajar" dia mengaku: "... malam hanya setinggal secabik saja, secabik yang sangat kecil, yang tersangkut di balik jendela. Aku menatap malam yang masih secabik itu, dan ketakutan menggenggam leherku. Cabik hitam itu, terdiri dari susa-sisa bayangan, mempunyai wajah. Aku menatap wajah itu, dan aku mengerti mengapa aku begitu takut. Wajah itu tak lain dari wajahku sendiri."

"Malam" dan "Fajar" sejatinya adalah seruan "anti-kebencian" dari seorang "nabi perdamaian" bernama Elie Weisel. Seorang "nabi" yang sangat paham betapa jahatnya kebencian, dalam posisi sebagai korban dan pelaku.

Maka sungguh pantaslah dia diganjar Nobel Perdamaian. Elie Weisel adalah penentang terdepan terhadap segala bentuk kekerasan, penindasan, dan rasialisme. Penentangan yang dialamatkannya bahkan pada kekejaman Israel di Palestina.

"Nabi perdamaian" itu telah pergi menghadap Tuhannya, yang dia kira pernah mati, Sabtu 2 Juli 2016 kemarin, pada usia 87 tahun di Amerika Serikat.

Sejak hari wafatnya itu, tak ada lagi "malam" dan "fajar" bagi Elie Weisel. Dia telah pergi ke tempat dimana "malam" dan "fajar" menyatu melahirkan "kedamaian abadi".

Elie Weisel lahir di Hungaria tahun 1928. Dia adalah satu dari sedikit orang Yahudi yang selamat dari kekejian Nazi di Auscwitz dan Buchenwald. 

Sejak tahun 1976 Elie Weisel menjadi Andrew Mellon Professor of Humanities di Boston University, dan ketua The United States Holocaust Memorial Council. Sepanjang hidupnya dia tekah menulis lebih dari 60 judul buku. Buku pertamanya, "Malam", adalah yang paling terkenal.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun