Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kritis Sikapi “Tragedi Solidaritas” di Media Sosial

29 Juni 2016   14:30 Diperbarui: 10 Juli 2016   00:04 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah “tragedi solidaritas” di sini menunjuk pada gejala praktek solidaritas sosial yang salah sasaran. Artinya subyek solidaritas tak selayaknya mendapatkan dukungan solidaritas. Subyeknya sebenarnya tak bermasalah secara ekonomi, tapi kemudian kekuatan solidaritas mengalirkan dukungan ekonomi padanya, sehingga membuatnya semakin sejahtera, sementara orang lain yang sesungguhnya lebih memerlukan bantuan malah tidak mendapat apa-apa.

Ini memang bukan istilah yang genuine. Saya terinspirasi konsep “tragedi pemilikan bersama” (G. Hardin). Konsep yang menjelaskan keserakahan setiap orang untuk mengambil manfaat dari sumberdaya (alam) milik bersama, tanpa perduli kepentingan orang lain, dan tanpa perduli kelestariannya. Buntutnya, sumberdaya (alam) terkuras, rusak, dan tak ada lagi yang bisa diambil.

Jadi, tragedi solidaritas (sosial) itu kurang lebih merupakan kebalikan dari tragedi pemilikan bersama (atas sumber daya). Tapi saya tak ingin membahas soal teoritis ini lebih jauh. Bikin pusing kepala nanti.

Saya langsung saja mendiskusikan gejala “tragedi solidaritas” itu dengan mengemukakan dua kasus. Kedua kasus itu bersangkut paut dengan gejala solidaritas sosial melalui media sosial. Dan, memang, “tragedi solidaritas” itu, sejauh saya amati, terjadi di media sosial.

Kasus Kakek “Winnie the Pooh” Suaedi, Sidoarjo
Masih ingat kasus kakek “Winnie the Pooh” Suaedi di Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2015 lalu? Awalnya adalah reportase radio Suara Surabaya yang mengisahkan nasib “malang” Suaedi lewat fans page FB. Dikisahkan, berdasar pengakuannya, Suaedi (70) berasal dari Driyorejo-Gresik, miskin, stroke, dan sebatang kara. Sehari-hari dia mencari nafkah di jalanan Sidoarjo, sebagai badut dalam kostum beruang Winnie the Pooh.

Kisah ini mengundang simpati/empati dari ratusan ribu netizen, dan bersamaan dengan itu arus “sedekah” menderas kepada Suaedi. Tapi kisah itu menjadi antiklimaks ketika Dinsosnakertrans Sidoarjo, yang bermaksud membantu, mengungkap jati diri Suaedi. Ternyata dia berasal dari Mojokerto, punya 7 orang isteri dan 5 orang anak, tidak stroke, membadut dikawal isteri, penghasilan Rp 500,000/hari (Rp 15 juta/bulan), dan punya rumah bagus serta 2 unit sepeda motor.

Bandingkan “penghasilan” Suaedi dengan buruh industri yang bekerja keras secara fair minimal 8 jam/hari. Penerimaan Rp 15 juta/bulan, hasil eksploitasi solidaritas, sangat jauh di atas UMR Surabaya (Rp 2,588,000/bln) atau bahkan Jakarta (Rp 2,700,000/bln) tahun 2015.

Kasus Ibu “Warteg” Saeni, Serang
Bu Saeni adalah pengusaha warteg di kota Serang. Karena dia berjualan pada Bulan Ramadan, maka warungnya terkena razia Satpol PP (10/6/2016).

Ratapan Bu Saeni lantaran warungnya dirazia, yang menjadi viral di media sosial, berhasil memancing simpati dan solidaritas mengalir kepada Bu Saeni.

Seorang netizen menggalang donasi bantuan untuk Bu Saeni melalui media sosial. Hanya dalam tempo 36 jam, solidaritas netizen berhasil menghimpun dana sebesar Rp 265.5 juta. Dari jumlah itu, sebesar Rp 170.8 juta diserahkan ke Bu Eni. Sisanya dialokasikan untuk pengusaha warung makan yang terdampak serupa.

Kisah Bu Saeni juga berakhir anti-klimaks. Terungkap kemudian bahwa Bu Saeni bukan orang miskin, karena punya setidaknya tiga warteg di Serang, masing-masing di Tanggul, Kaliwadas dan Cikepuh. Menurut berita, dana sumbangan itu juga akan digunakan untuk biaya umroh Bu Saeni dan suaminya.

Letak Tragedinya
Aksi solidaritas sosial, dalam hal ini yang bersifat mekanis, lazimnya ditujukan kepada seseorang atau sekolompok orang yang berstatus “korban”. “Korban” di sini bermakna “orang yang menjadi miskin secara sosial-ekonomi akibat bekerjanya faktor bencana, perang, atau politik”.

Faktanya, Kakek Suaedi dan Bu Saeni bukanlah “korban” yang menjadi miskin akibat dari salah satu faktor itu. Mereka hanya terkesankan “miskin” karena dicitrakan begitu melalui kekuatan media sosial.

Informasi sepihak semacam itu, dan dangkal, ternyata langsung memicu simpati netizen. Sebab informasi itu memuat “fakta orang kalah” (oleh kekuasaan dan lain-lain), dan netizen cenderung memposisikan dirinya sebagai “orang kalah” juga.

Maka, selanjutnya, solidaritas dalam bentuk donasi menjadi sangat mudah dibangun melalui media sosial. Netizen penyumbang cuma perlu “orang kalah” untuk disumbang. Tidak pernah bertanya lebih jauh tentang “siapa sebenarnya orang kalah” itu.

Solidaritas seperti itu sejatinya sangat baik, tapi kemudian menjadi sebuah tragedi manakala subyek solidaritas itu ternyata bukan orang yang sepantasnya. Kakek Suaedi dan Bu Saeni bukanlah orang-orang yang paling pantas untuk dibantu, karena masih banyak yang lebih parah kondisinya.

Jadi, bukankah sebuah tragedi solidaritas jika orang sebenarnya cukupan secara sosial-ekonomi justru memperoleh kucuran dana solidaritas?

Maka, ke depan, sebaiknya netizen dapat lebih kritis menanggapi penggalangan solidaritas semacam itu. Teliti sebelum memberi. Jangan lagi menjadi bagian dari sebuah tragedi.(*)

*)Artikel ini adalah pemikiran awal tentang konsep "tragedi solidaritas", dan sangat terbuka untuk diperdebatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun