Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Selamat Tinggal Ojek Online, Selamat Datang Opang Online

15 Juni 2016   12:03 Diperbarui: 15 Juni 2016   12:27 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika terjadi hijrah berjamaah dari Ojek Pangkalan (O-pang) ke Ojek Online (O-on) dua tahun lalu, saya sudah membayangkan pada titik waktu tertentu akan terjadi gejala involusi O-on, yaitu “terlalu banyak pengojek O-on untuk terlalu sempit ruang operasi”. 

Apalagi, menyusul kehadiran operator O-on “Gojek”, bermunculan pula sejumlah operator baru, antara lain “Grab Bike” sebagai pesaing utama.  Persaingan ruang operasi semakin sengit saja.  Antara lain ditandai oleh “perang tarif murah”, dan diversifikasi mata usaha misalnya ke bidang jasa pembersihan rumah.

Indikasi utama involusi O-on itu adalah kembalinya para pengojek  ke pola perilaku O-pang, yaitu  “berbagi ruang operasi dan berbagi rejeki di ruang eksklusif”. 

Jelasnya para pengojek O-on sekarang kembali ke “pangkalan” asal, atau membangun “pangkalan baru” di lokasi strategis.   Maka dengan mudah sekarang di berbagai sudut Jakarta ditemukan kelompok-kelompok pengojek O-on menduduki “titik-titik kumpul”  di depan mal, samping stasiun kereta api, pojok perkantoran, jalan masuk pemukiman, dan di  lain-lain tempat.  

Sebagian titik kumpul itu bahkan lengkapi dengan plakat nama kelompok pengojek O-on tersebut.  Bahkan, saya pernah lihat, ada yang dilengkapi dengan daftar nama pengojek yang boleh mangkal di pangkalan tersebut. 

Itulah yang saya maksud dengan gejala Opang Online.   Sistem layanannya Online, tapi perilaku pengojeknya Opang.

Coba perhatikan, kalau Anda pengguna jasa O-on, berapa kali Anda dilayani oleh pengojek yang sama kalau memesan layanan dari rumah atau kantor.  Pasti Anda telah mengalami dilayani oleh seorang pengojek O-on yang sama berkali-kali.  

Atau perhatikan nama-nama pengojek yang tampil di layar telepon genggam.  Kerap kali adalah nama-nama yang sama.

Mengapa bisa begitu?  Karena mereka mangkal dekat-dekat rumah Anda, sehingga berpeluang besar mendapatkan kesempatan pertama melayani pesanan penumpang yang ada di sekitar pangkalan.

Dulu para O-pang, juga warga lainnya, berbondong-bondong bergabung ke perusahaan O-on karena pada awalnya sistem O-on memang menjanjikan penghasilan yang lebih besar dibanding O-pang.  Tentu masih ditambah lagi dengan sejumlah insentif dan fasilitas sosial lain.

Tapi dengan berjalannya waktu, dan bertambahnya populasi pengojek O-on, dan pengojek O-pang ternyata juga tak lenyap, maka terjadilah gejala involusi O-on secara khusus.  Indikasi awalnya adalah keluhan pengojek O-on tentang penurunan penghasilan harian karena  penurunan jumlah perolehan penumpang. 

Dengan menurunnya penghasilan, maka cara operasi berkeliaran ke sana kemari menjadi tidak efisien, karena boros bensin dan tenaga.  Pilihan paling rasional adalah mangkal di titik-titik potensi penumpang ramai.   Ketika sejumlah pengojek O-on mengambil langkah serupa, maka terbentuklah “pangkalan” O-on.   Maka jadilah “O-pang Online”.  (Atau O-on Pangkalan, sama saja.)

“Opang On-line” kemudian menjadi semacam “kelembagaan informal” yang mengatur pembagian rejeki antar pengojek O-on.   Jika ada panggilan penumpang, maka antar mereka dapat saling atur, siapa yang akan melayaninya.   Biasanya berdasar giliran.  Jadi semua pengojek dijamin mendapat penumpang dengan jumlah yang kurang lebih sama.  Sehingga penghasilan per hari juga relatif sama. 

Gejala pergiliran itu sama dengan gejala berbagi rejeki.  Kalau rejeki banyak, maka dapatnya banyak.  Kalau sedikit, dapatnya sedikit.   Kalau mau sedikit kritis, gejala itu bisa dibilang “berbagi kemiskinan”.  Karena alasan mereka “kembali ke pangkalan” sebenarnya adalah karena rejeki semakin terbatas.

Begitulah, sistem kerjanya bisa canggih, keren, yakni “online”.  Tapi perilaku kerjanya tetap bersahaja, tradisional, yaitu “pangkalan”.   Jadi, selamat tinggallah Ojek Online, selamat datang Opang Online.

Sejatinya, hal itu tidak hanya terjadi pada kelompok pengojek, tapi juga dialami oleh mayoritas penduduk negeri ini.   Di tangan ada alat komunikasi modern, di kepala ada cara komunikasi tradisonal.  Begitulah!(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun