Dengan menurunnya penghasilan, maka cara operasi berkeliaran ke sana kemari menjadi tidak efisien, karena boros bensin dan tenaga. Pilihan paling rasional adalah mangkal di titik-titik potensi penumpang ramai. Ketika sejumlah pengojek O-on mengambil langkah serupa, maka terbentuklah “pangkalan” O-on. Maka jadilah “O-pang Online”. (Atau O-on Pangkalan, sama saja.)
“Opang On-line” kemudian menjadi semacam “kelembagaan informal” yang mengatur pembagian rejeki antar pengojek O-on. Jika ada panggilan penumpang, maka antar mereka dapat saling atur, siapa yang akan melayaninya. Biasanya berdasar giliran. Jadi semua pengojek dijamin mendapat penumpang dengan jumlah yang kurang lebih sama. Sehingga penghasilan per hari juga relatif sama.
Gejala pergiliran itu sama dengan gejala berbagi rejeki. Kalau rejeki banyak, maka dapatnya banyak. Kalau sedikit, dapatnya sedikit. Kalau mau sedikit kritis, gejala itu bisa dibilang “berbagi kemiskinan”. Karena alasan mereka “kembali ke pangkalan” sebenarnya adalah karena rejeki semakin terbatas.
Begitulah, sistem kerjanya bisa canggih, keren, yakni “online”. Tapi perilaku kerjanya tetap bersahaja, tradisional, yaitu “pangkalan”. Jadi, selamat tinggallah Ojek Online, selamat datang Opang Online.
Sejatinya, hal itu tidak hanya terjadi pada kelompok pengojek, tapi juga dialami oleh mayoritas penduduk negeri ini. Di tangan ada alat komunikasi modern, di kepala ada cara komunikasi tradisonal. Begitulah!(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H