Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Benci Pancasila!

1 Juni 2016   17:51 Diperbarui: 1 Juni 2016   18:02 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertepatan hari ini, 1 Juni 2016, Hari Lahir Pancasila, aku keluar sejenak dari “rumah hening”.  Semata-mata untuk merayakan Hari Lahir Pancasila.  Tapi  dengan cara yang tak lazim.  Merayakannya dengan sebuah pengakuan, “Aku benci Pancasila!”

Ini pengakuan serius.  Peristiwa lama.  Tahun 1970 kalau tak salah.  Waktu itu aku kelas 3 Sekolah Dasar.

Guruku, tepatnya guru kami, mewajibkan tiap siswa harus hafal Pancasila.  “Harus hafal luar kepala,” katanya. 

Kalau dipikir sekarang, guru kami itu aneh sekali.  Hafal luar kepala, katanya.  Kalau di luar kepala, mana bisa hafal.  Hafal itu kalau ada di dalam kepala.  Di dalam benak.

Aneh.  Tapi sudahlah.  Waktu itu aku belum bisa berpikir kritis.  Jadi, tanpa pikir, terima saja apa kata guru.

Masalahnya, “hafal luar kepala” itu harus dibuktikan.   Maka secara bergilir, tiap siswa harus maju ke depan kelas mengucapkan kelima sila Pancasila di luar kepala. 

Entah bagaimana caranya, hanya segelintir siswa yang tidak hafal luar kepala.  Cilakanya, di antara segelintir itu, termasuklah aku.

Lebih cilaka lagi aku, sudah tiga kali berdiri di depan kelas, dan tiga kali itu pula tidak hafal Pancasila di luar kepala.

Malulah aku pada teman-teman.  Lebih malu lagi, dan juga sangat sakit, karena sudah tiga kali itu betis kiri dan kananku disabet guru kami pakai rotan.  “Upah untuk anak yang tak hafal Pancasila,” katanya.

Waktu itu guru memukul siswa masih lumrah.  Bahkan didukung oleh orangtua.  “Hajar saja kalau nakal atau bodoh Pak Guru,” begitu kata orangtua.

Orangtua bisa terima anaknya dipukul guru.  Tapi aku tidak.  Aku tak terima dipukul lantaran tak hafal Pancasila. 

Hanya saja, aku tak membenci guru kami karena telah merotan betisku.  Itu memang haknya, waktu itu.

Aku malah benci pada Pancasila.  Sebab gara-gara Pancasila itulah betisku terkena  sabetan rotan.  Maksudku, gara-gara tak hafal Pancasila, aku harus menanggung sakit di kedua betisku.

Tapi , aku benci Pancasila itu cerita lama.  Bencinya anak kecil yang kesakitan terkena sabetan rotan.  Bukannya menyalahkan diri sendiri tak hafal Pancasila.  Malah menyalahkan Pancasila.  Padahal, apa salahnya Pancasila, coba.

Tentu, jangan tanya sekarang.  Sebab tanpa ditanya juga, aku mengaku, “Aku cinta Pancasila!”  Kenapa bisa begitu?  Panjang alasannya.

Tapi, agar tak ditanya-tanya, saya ringkaskan alasannya.  Begini.  Menurutku, tanpa Pancasila, bangsa ini tak akan pernah menjadi  taman berjuta bunga dan aku tidak akan pernah menjadi sekuntum di antaranya.

Mungkin, seperti aku dulu, rekan-rekan pembaca pernah memendam rasa benci pada Pancasila.  Mungkin benci karena dipaksa guru untuk hafal, tapi tak kunjung hafal.  Atau karena nilai ujian Pendidikan Moral Pancasila di sekolah “kebakaran”.   Atau karena pernah dicap Anti-Pancasila oleh karena sesuatu sebab. Atau, karena apa saja.

Tapi rasa benci semacam itu mestilah bersifat kekanakan.  Sebaiknya, jangan disimpan dalam hati.

Ingatlah selalu, berkat Pancasila, Anda dapat menjadi sekuntum bunga mekar mewangi di tengah taman berjuta bunga nusantara.  Menyadari itu, masih adakah halangan untuk mencintai Pancasila?

Lagi pula, bicara hafal tidak hafal Pancasila tidak penting-penting amat.  Yang terpenting adalah menerima esensinya yaitu semangat gotong-royong.

Jika setiap pikiran, perkataan, dan tindakan telah dijiwai semangat gotong-royong maka, tak pelak lagi, itulah kehidupan Pancasilais sejati.

Dengan kalimat terakhir ini, izinkan aku untuk kembali ke “rumah hening”, karena izin untuk keluar sejenak sudah habis.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun