Hanya saja, aku tak membenci guru kami karena telah merotan betisku. Itu memang haknya, waktu itu.
Aku malah benci pada Pancasila. Sebab gara-gara Pancasila itulah betisku terkena sabetan rotan. Maksudku, gara-gara tak hafal Pancasila, aku harus menanggung sakit di kedua betisku.
Tapi , aku benci Pancasila itu cerita lama. Bencinya anak kecil yang kesakitan terkena sabetan rotan. Bukannya menyalahkan diri sendiri tak hafal Pancasila. Malah menyalahkan Pancasila. Padahal, apa salahnya Pancasila, coba.
Tentu, jangan tanya sekarang. Sebab tanpa ditanya juga, aku mengaku, “Aku cinta Pancasila!” Kenapa bisa begitu? Panjang alasannya.
Tapi, agar tak ditanya-tanya, saya ringkaskan alasannya. Begini. Menurutku, tanpa Pancasila, bangsa ini tak akan pernah menjadi taman berjuta bunga dan aku tidak akan pernah menjadi sekuntum di antaranya.
Mungkin, seperti aku dulu, rekan-rekan pembaca pernah memendam rasa benci pada Pancasila. Mungkin benci karena dipaksa guru untuk hafal, tapi tak kunjung hafal. Atau karena nilai ujian Pendidikan Moral Pancasila di sekolah “kebakaran”. Atau karena pernah dicap Anti-Pancasila oleh karena sesuatu sebab. Atau, karena apa saja.
Tapi rasa benci semacam itu mestilah bersifat kekanakan. Sebaiknya, jangan disimpan dalam hati.
Ingatlah selalu, berkat Pancasila, Anda dapat menjadi sekuntum bunga mekar mewangi di tengah taman berjuta bunga nusantara. Menyadari itu, masih adakah halangan untuk mencintai Pancasila?
Lagi pula, bicara hafal tidak hafal Pancasila tidak penting-penting amat. Yang terpenting adalah menerima esensinya yaitu semangat gotong-royong.
Jika setiap pikiran, perkataan, dan tindakan telah dijiwai semangat gotong-royong maka, tak pelak lagi, itulah kehidupan Pancasilais sejati.
Dengan kalimat terakhir ini, izinkan aku untuk kembali ke “rumah hening”, karena izin untuk keluar sejenak sudah habis.(*)