Ada sebuah contoh aktual “pinjam sarang kuasa” berupa interaksi kuasa dan bisnis. Baru-baru ini Menteri Keuangan menyebut ada 6,000 nama, sebagian adalah politisi dan pejabat, prmilik rekening “bebas pajak” di luar negeri. Total nilai rekening itu diperkirakan Rp 11.400 triliun. Petugas pajak terkendala menarik pajak karena para pemilik rekening itu memiliki relasi kekuasaan. Artinya, mereka menghindari kewajiban pajak dengan cara “pinjam sarang kuasa”.
Rakyat biasa juga tak luput dari tindakan “pinjam sarang kuasa”. Ada sedikit masalah, langsung main ancam akan lapor (lewat SMS) ke gubernur, atau ke anggota DPR. Pejabat atau orang yang “diancam” akan dilaporkan itu biasanya langsung “mikir”.
Tindakan “pinjam sarang kuasa” bertujuan menundukkan “lawan” agar memenuhi kemauan peminjam “sarang”. Faktor kepatuhan atau bahkan “ketakutan” bawahan kepada atasan (atau junior kepada senior, atau subordinat kepada superior) umumnya akan memaksa seseorang untuk memenuhi kemauan peminjam “sarang kuasa” itu.
Implikasi tindakan “pinjam sarang kuasa” itu adalah pelanggaran nilai-nilai profesionalitas dan integritas pada jabatan. Sejatinya inilah salah satu faktor utama penyebab meluasnya gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme baik di sektor publik maupun swasta (privat) di negara kita.
Gerakan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya, sebenarnya adalah solusi jitu untuk mereduksi gejala “pinjam sarang kuasa” itu. Pertanyaannya kemudian, mengapa “angin” revolusi mental itu tak lagi terasa tiupannya kini?(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H